kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jelang RDG Bank Indonesia, Simak Rekomendasi Saham-saham yang Menarik Dicermati


Minggu, 21 Agustus 2022 / 16:54 WIB
Jelang RDG Bank Indonesia, Simak Rekomendasi Saham-saham yang Menarik Dicermati


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil rapat dewan gubernur (RDG) terkait suku bunga acuan pada Selasa (23/8). Sebagai kilas balik, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50% pada RDG Juli 2022.

Sejumlah analis memproyeksi bank sentral ini akan menaikkan suku bunganya. Analis Sinarmas Sekuritas Axel Leonardo memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga. Kenaikannya diprediksi tidak agresif, yaitu sebesar 25 basis points (bps). Namun, jika ternyata suku bunga tidak dinaikkan, hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah ingin menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Dalam menghadapi keputusan Bank Indonesia, menurut Axel, investor tidak perlu khawatir.  Sebab, kenaikan suku bunga adalah hal yang wajar. Mungkin pasar akan bereaksi, tetapi hanya dalam jangka pendek saja. Dalam jangka waktu menengah atau panjang, kondisi ekonomi Indonesia masih cukup, baik mengingat tingkat inflasi inti yang masih terjaga serta memiliki cadangan devisa yang tinggi.

Untuk sektor yang bisa perhatikan adalah sektor perbankan, terutama bank-bank kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI) IV yang secara historis mampu bertahan di berbagai macam kondisi ekonomi. 

Baca Juga: Begini Proyeksi Pergerakan IHSG di Pekan RDG Bank Indonesia

“Adapun untuk top pick kami adalah saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) karena valuasinya yang paling murah di antara bank KBMI IV lainnya,” terang Axel, Minggu (21/8). Adapun target  harga yang dipasang untuk saham BBRI adalah Rp 4.700.

Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi mengatakan, investor bisa melihat rotasi sektoral yang terjadi, dimana saham-saham bank tampak mulai memimpin, sementara saham sektor energi dan shipping mulai melemah. Arus dana (inflow) juga sudah masuk ke sektor bank. 

Untuk taktikal, investor bisa ikut strategi rotasi sektoral. Akan tetapi untuk jangka waktu yang lebih panjang, saham-saham berbasis komoditas terutama emiten batubara masih seksi.

Emiten di sektor batubara dinilai Tirta masih menarik karena kebijakan Negara Eropa yang memboikot batubara Rusia. Di sisi lain, menjelang musim dingin, negara-negara ini perlu melakukan restocking batubara 

“Harga batubara masih berpotensi tinggi, di atas level sebelum pandemi sampai akhir tahun. Ini  bagus untuk kinerja emitennya, selama tidak ada masalah untuk produksi dan emiten-emiten ini juga  merupakan penghasil dolar AS,” terang Tirta, Minggu (21/8)

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Handiman Soetoyo dan Rizkia Darmawan  menjadikan  saham BBRI dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebagai pilihan utama. Ini karena kedua perusahaan tersebut menunjukkan pertumbuhan laba yang paling menonjol, ditambah dengan pertumbuhan pinjaman yang kuat dan kualitas aset yang jauh lebih baik. 

BBRI dan BMRI menjadi penerima manfaat tertinggi dari prospek kenaikan suku bunga karena pertumbuhan pinjaman yang kuat di segmen mikro/ritel. 

Baca Juga: Ramai Sentimen, Simak Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Senin (22/8)

“Selain itu, kami juga mengharapkan kedua bank untuk memberikan dividend yield yang menguntungkan, sekitar 4%-6% pada tahun 2023, yang jarang terjadi di lingkup perbankan besar,” tulis Handiman dan Rizkia dalam riset, Selasa (16/8)

Mirae Asset Sekuritas Indonesia merekomendasikan beli saham BBRI dengan target harga Rp 6.100 dan beli saham BMRI dengan target harga Rp 11.000. Selain itu, Mirae Asset juga merekomendasikan beli saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan target harga Rp 10.900 dan trading buy saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan target harga Rp 9.000.

Risiko utama dari rekomendasi ini diantaranya kualitas aset yang memburuk, pertumbuhan kredit yang lebih lambat, volatilitas nilai tukar, dan inflasi yang tinggi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×