Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan suku bunga Federal Reserve sudah di depan mata. Kini, pelaku pasar menanti arah kebijakan Bank Sentral Amerika tersebut selanjutnya untuk mengukur langkah. Begitu pula Bank Indonesia (BI) yang diprediksi akan ikut mengangkat suku bunga acuan lagi dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar esok.
Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menilai, pernyataan-pernyataan pejabat The Fed dalam pertemuan FOMC malam ini akan menjadi acuan Bank Indonesia dalam menentukan kebijakan moneter selanjutnya. "The Fed sepertinya belum selesai, masih akan hawkish dan menaikkan suku bunga lagi pada bulan Desember maupun beberapa kali lagi di tahun depan," ujar Enrico, Rabu (26/9).
Melihat kondisi tersebut, Enrico meyakini BI akan mempertahankan respons ahead of the curve alias menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif untuk mengimbangi kebijakan The Fed dan memberi support bagi kurs rupiah. Ia memprediksi, besok BI bakal menaikkan lagi 7-days reverse repo rate (7-DRRR) sebesar 50 basis poin (bps).
Menurutnya, bauran kebijakan pemerintah dengan menaikkan suku bunga sudah cukup tepat. Selain itu, kebijakan lainnya seperti pengetatan impor, pemberlakuan konversi, dan penyediaan produk swap hedging dari BI untuk mempermudah sektor bisnis melakukan konversi dan aksi lindung nilai juga diharapkan dapat menjaga stabilitas rupiah ke depan.
"Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut baru akan terlihat dampaknya dalam hitungan bulan ke depan, jelang akhir tahun atau awal tahun depan," kata Enrico.
Setali tiga uang, analis Monex Investindo Futures Faisyal juga menilai, BI perlu menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps hingga 50 bps. "BI harus berlomba dengan potensi kenaikan suku bunga The Fed berikutnya di bulan Desember, sementara kurs rupiah sudah makin dekat level psikologis Rp 15.000," kata Faisyal, Rabu (26/9).
Menurut Faisyal, besar kemungkinan The Fed masih akan menaikkan suku bunga hingga tiga kali pada tahun depan. Untuk itu, pemerintah harus mengantisipasi agar nilai tukar tidak bergerak liar ke atas Rp 15.000 yang dianggapnya bakal memberi sentimen negatif pada pasar keuangan dalam negeri.
Sebaliknya, Senior Chief Economist PPA Kapital Ferry Latuhihin, cenderung pesimistis keputusan BI menaikkan suku bunga acuan lagi pada RDG esok hari ampuh menopang rupiah. Pasalnya, faktor eksternal yang mendorong penguatan dollar AS ke depan masih lebih kuat dan sulit untuk diatasi dengan kenaikan suku bunga semata.
Pertama, Ferry meyakini, kebijakan pengetatan moneter The Fed akan tetap konsisten sampai tahun depan. "The Fed meng-counter kebijakan fiskal Presiden Donald Trump yang cenderung loose sehingga harus terus menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi," kata Ferry. Dengan demikian, nasib mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia, masih di ambang pelemahan.
Kedua, perang dagang antara AS dan China yang terus berlanjut akan menciptakan ketidakpastian yang berkelanjutan terhadap perekonomian global. "Dollar AS, dalam hal ini pun, akan terus menjadi aset yang diincar untuk menghindari risiko di pasar," kata Ferry, Rabu (26/9).
Senada, Enrico juga melihat tekanan pada kurs rupiah masih terbuka seiring dengan tensi perang dagang antara AS dan China selanjutnya. "Aksi retaliasi kedua negara akan mendorong China melakukan devaluasi mata uang lagi dan ini akan memengaruhi pergerakan mata uang emerging market, khususnya di Asia, termasuk rupiah," terang Enrico.
Untuk itu, Enrico berharap, pemerintah bisa terus mengimbangi kebijakan moneter dengan peningkatan ekspor di sektor berbasis bahan baku dalam negeri. Hal ini demi memperkecil defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang masih jadi pembeban nilai tukar dari sisi domestik. Lantas, volatilitas pada rupiah bakal mampu teredam menuju akhir tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News