Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks sektor pertambangan menjadi salah satu indeks dengan penurunan paling mini sepanjang 2020. Per Jumat (8/5), indeks ini turun 18,94% year to date (ytd) atau hanya kalah dari sektor barang konsumsi yang berada di posisi teratas.
Analis Profindo Sekuritas Indonesia Dimas W.P. Pratama mengatakan, indeks sektor pertambangan mulai rebound karena tertolong harga minyak dunia yang kembali naik. Ditambah lagi, sejumlah negara di dunia mulai melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown).
"Dengan begitu, kegiatan ekonomi akan berjalan lagi. Pabrik-pabrik, perkantoran, dan sarana transportasi bakal kembali beroperasi. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan energi, baik dari batubara maupun minyak bumi," kata Dimas kepada Kontan.co.id, Jumat (8/5).
Baca Juga: IHSG turun 2,52% sepekan ini, asing masih mencatat net sell jumbo
Sementara itu, Analis NH Korindo Sekuritas Meilki Darmawan mengatakan, kinerja indeks ini ditopang oleh saham-saham emiten pertambangan emas seperti PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan pertambangan nikel seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO). "Saham-saham tersebut masih cukup stabil walaupun belum cukup bisa menahan penurunan sektor pertambangan," kata dia, Kamis (7/5).
Memang, hingga perdagangan Jumat (8/5), harga saham MDKA naik 14,02% ytd ke Rp 1.220 per saham. Sementara itu, saham INCO secara ytd masih turun 15,11%, tetapi naik 33,77% dalam satu bulan ke belakang menjadi Rp 3.090 per saham.
Di sisi lain, saham-saham yang menjadi penyebab penurunan sektor ini mayoritas berasal dari emiten batubara akibat penurunan harga jual yang sudah mencapai 22,3% ytd. Sebut saja, saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang turun 22,56% ytd ke Rp 2.060 per saham, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) -34,08% ytd ke Rp 1.025, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) -31,37% ytd menjadi Rp 7.875 per saham.
Baca Juga: Meski pendapatan naik, laba bersih Merdeka Copper (MDKA) susut 26,25% di kuartal I
Meilki mengestimasi, pada tahun ini, emiten batubara akan mencatatkan penurunan harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) dan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan tahun 2019. Dia memprediksi, ASP Bukit Asam pada 2020 akan sebesar Rp 592.822 per metrik ton atau turun sekitar 16% year on year (yoy) dan ASP Adaro Energy dapat turun sekitar 5% yoy menjadi US$ 49,5 per metrik ton.
Adapun ASP Indo Tambangraya diprediksi turun sekitar 6% ke level US$ 61,2 per metrik ton. Tapi, besaran angka perkiraan pendapatan ketiga emiten tersebut masih dalam kajian.
Oleh karena itu, Meilki lebih optimistis terhadap kinerja emiten pertambangan emas, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). "Karena ada ruang bertumbuh seiring terus meningkatnya harga emas dunia," tutur dia. Begitu juga dengan INCO yang kinerjanya akan terkerek kenaikan harga nikel.
Baca Juga: Danai akuisisi dengan utang, Moody's menilai prospek Inalum negatif
Meilki melihat, ANTM berpotensi membukukan pendapatan Rp 36,4 triliun pada 2020 atau naik 11,3% yoy dengan laba bersih Rp 889 miliar atau melesat 385,6% yoy. Sementara INCO berpotensi membukukan pendapatan US$ 810 juta atau tumbuh 3,58% yoy dengan dan laba bersih US$ 81 juta atau meningkat 41,11% yoy.
Alhasil, ia melihat prospek saham ANTM dan INCO masih lebih menarik dibandingkan PTBA, ADRO, maupun ITMG. Meilki merekomendasikan pelaku pasar untuk buy ANTM dan INCO dengan target harga masing-masing Rp 1.100 dan INCO Rp 2.000 per saham.
Dimas menambahkan, meski indeks sektor tambang mencatatkan penurunan yang tergolong minim dan harga saham-sahamnya sudah sangat murah, ia melihat volatilitasnya ke depan masih tinggi. Ia memprediksi, saham-saham pertambangan baru akan stabil pada akhir 2020 ketika pandemi Covid-19 sudah benar-benar teratasi. Oleh karena itu, ia mempersilahkan investor untuk cicil beli asal untuk jangka waktu investasi di atas dua tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News