Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Nilai tukar rupiah tertekan oleh penguatan dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan Rabu (10/1). Narasi terkait suku bunga tinggi masih akan bertahan lama kembali membayangi pasar.
Mengutip Bloomberg, rupiah spot melemah 0,32% secara harian ke level Rp 15.570 per dolar AS, Rabu (10/1). Senada, rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) kompak melemah sebesar 0,32% ke level Rp 15.568 per dolar AS di perdagangan Rabu (10/1).
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menjelaskan, penguatan dolar AS dapat dikaitkan dengan kondisi pasar yang berfokus pada data Consumer Price Index (CPI) Amerika yang akan dirilis Kamis (11/1) malam. Data tersebut diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit meningkat di bulan Desember 2023.
“Inflasi yang stagnan, ditambah dengan tanda-tanda ketahanan pasar tenaga kerja baru-baru ini akan memberikan ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama,” ungkap Ibrahim dalam riset harian, Rabu (10/1).
Ibrahim melihat, para pedagang nampak terus mengurangi pertaruhan bahwa The Fed akan mulai memangkas suku bunga secepatnya pada bulan Maret 2024. Alat CME Fedwatch menunjukkan pertaruhan terhadap penurunan suku bunga sebesar 25bps pada bulan Maret dengan peluang 63,6%, turun dari peluang 69,6% yang terlihat di pekan lalu.
Pejabat Fed juga terlihat menentang ekspektasi penurunan suku bunga lebih awal, dengan Presiden Fed Atlanta Ralph Bostic menyatakan bahwa ia tetap bias terhadap kebijakan moneter yang tetap ketat dalam jangka pendek.
“Meskipun The Fed telah mengisyaratkan akan menurunkan suku bunga pada tahun 2024, namun hanya memberikan sedikit informasi mengenai waktu pemotongan tersebut. Bank sentral sejauh ini mempertahankan pendekatan berbasis data untuk memangkas suku bunga,” tambahnya.
Baca Juga: Loyo, Rupiah Spot Melemah 0,32% ke Rp 15.570 Per Dolar AS Pada Rabu (10/1)
Di Asia, lanjut Ibrahim, data pada hari Selasa menunjukkan inflasi inti di ibukota Jepang melambat untuk bulan kedua berturut-turut pada bulan Desember. Ini mengurangi tekanan pada Bank of Japan (BoJ) untuk segera keluar dari kebijakan moneter ultra-longgarnya.
Dari domestik, pasar merespon negatif rilis Bank Dunia yang memperkirakan ekonomi global akan melambat ke 2,4% pada tahun ini dibandingkan 2,6% pada 2023. Selain itu, ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,7% pada 2025, proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan pada Juni lalu yakni 3,0%.
Bank Dunia juga mengingatkan adanya risiko besar untuk pertumbuhan ke depan dari konflik di Timur Tengah, gangguan di pasar komoditas, mahalnya ongkos pinjaman, bengkaknya utang, melandainya ekonomi China, inflasi yang masih tinggi, serta perubahan iklim yang ekstrim.
Sementara untuk Indonesia, Bank Dunia mempertahankan proyeksi pertumbuhan untuk tahun ini di angka 4,9%. Namun, mereka memangkas proyeksi 2025 menjadi 4,9%, dari 5,0% pada proyeksi Juni lalu. Proyeksi bank dunia tidak sejalan dari proyeksi pemerintah sebesar 5,2%.
Ibrahim menyebutkan, salah satu kesulitan mencapai target pertumbuhan yang dipatok pemerintah yaitu Indonesia tidak akan lagi mendapat berkah dari lonjakan harga komoditas untuk tahun ini dan tahun depan. Sehingga, hal itu akan berpengaruh terhadap ekspor impor serta melandainya ekonomi China sebagai salah satu mitra bisnis terbesarnya.
Ibrahim memperkirakan rupiah kemungkinan bergerak fluktuatif, namun ditutup melemah pada perdagangan Kamis (11/1). Mata uang Garuda diprediksi bergerak dalam rentang Rp 15.550 – Rp 15.600 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News