Reporter: Dina Farisah | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), yang menunda pengurangan stimulus moneter membuat bursa saham dan obligasi bergairah. Investor dapat memanfaatkan peluang ini untuk meraup untung.
Direktur PT Bahana TCW Investment Management, Soni Kusumo Wibowo, menilai, penundaan pengurangan stimulus memicu investor untuk masuk kembali ke aset-aset berisiko. Pasar juga merespons positif keputusan The Fed tersebut. Meski optimisme merebak, investor perlu waspada faktor dalam negeri seperti inflasi, kurs rupiah dan defisit transaksi berjalan.
Soni menyarankan, investor tetap mempertimbangkan tujuan dan horizon investasi. Porsi keseimbangan portofolio harus tetap dijaga. Menurut dia, investor bisa mengalokasikan separuh asetnya pada instrumen saham.
Hanya saja, investor perlu mencermati fundamental perusahaan saat hendak mengakumulasi saham. "Investor tidak perlu ragu masuk ke saham saat harga sedang bergerak naik seperti sekarang ini," ungkap Soni kepada KONTAN, Kamis (19/9).
Bahana, kata Soni, selalu merekomendasikan investasi jangka panjang. Ia percaya, kondisi perekonomian Indonesia setahun ke depan akan lebih baik dibanding hari ini.
Selain saham, alternatif pilihan investasi lain yang menarik adalah obligasi. Meskipun laju kenaikannya tidak secepat saham, prospek obligasi cukup baik. Investor bisa membenamkan 45% portofolionya pada instrumen berbasis obligasi.
Mengutip Bloomberg, Kamis (19/9), harga surat utang negara (SUN) seri acuan ikut melonjak. Semakin panjang tenor SUN, kenaikan harganya semakin pesat.
Seri FR0066 dengan tenor 5 tahun mendaki 1,48% dibanding hari sebelumnya. Harga SUN seri FR0063 bertenor 10 tahun naik 2,9% dibanding hari sebelumnya. Seri FR0064 bertenor 15 tahun melejit 5,04% dalam sehari. Seri FR0065 bertenor 20 tahun melesat tajam 5,42%.
Sisa portofolio, lanjut Soni, bisa diparkir pada kas. Porsi portofolio ini dapat dipertahankan sampai membaiknya data-data makro Indonesia.
Jika inflasi mereda, kurs rupiah menguat dan stabil serta defisit current account menyempit, maka investor bisa menambah porsi saham. Dengan demikian, porsi di obligasi dan kas bisa dikurangi secara bertahap.
Direktur PT Emco Asset Management, Hans Kwee menuturkan, kenaikan yang melanda bursa saham dan obligasi hanya sementara. Menurut dia, pasar akan fluktuatif jika The Fed kembali melempar isu penurunan stimulus alias tapering off. Setelah penundaan tapering off ini, investor akan memfokuskan diri pada wacana pemotongan anggaran AS pada akhir September. "Ini hanya euforia sesaat," duga Hans.
Karena itu, Hans merekomendasikan investor menahan diri masuk ke saham hingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level 4.200 sampai 4.300.
Menurut dia, investor sebaiknya memperbesar posisi kas antara 30%-40% dari total portofolio. Alternatif lain, bisa melirik obligasi negara ritel (ORI010) yang menawarkan kupon menarik, yaitu 8,5% per tahun. Sisanya dapat dialokasikan ke saham atau reksadana saham.
Edbert Suryajaya, Analis Senior PT Finera Prosperindo bilang, kebijakan The Fed ini memberi keuntungan bagi produk investasi yang berisiko seperti saham. Selain saham, obligasi juga terkena dampak positif meski tidak signifikan.
Instrumen berbasis saham, seperti reksadana saham, berpotensi memberikan untung yang cukup besar dalam jangka pendek. "Karena sentimen kebijakan The Fed bersifat jangka pendek, investor tidak perlu terburu-buru melakukan penyesuaian portofolio," saran Edbert.
Bagi yang ingin memanfaatkan peluang, Edbert merekomendasikan investor memperbesar alokasi pada instrumen berbasis saham. Tapi, hal ini tidak untuk jangka panjang. Investor harus mengevaluasi kembali dalam jangka waktu dua hingga tiga bulan mendatang, untuk menilai kesesuaian kondisi pasar dengan instrumen investasinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News