Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi investor terkait risiko investasi di Indonesia kembali meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh naiknya credit default swap (CDS) Indonesia, khususnya CDS tenor lima tahun.
Kamis (28/6), CDS Indonesia tenor lima tahun kembali menyentuh rekor tertinggi di 143,92. Angka itu sudah melesat 68% dari posisi di akhir 2017 yang masih di 85,25.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Moody's Investor Service yang menyebut, seiring penguatan dollar Amerika Serikat, risiko kredit di negara emerging market yang mengandalkan pendanaan luar negeri cenderung naik.
Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail mengamini hal tersebut. "Peningkatan CDS Indonesia pada dasarnya sangat berkorelasi dengan pelemahan rupiah terhadap dollar AS," kata dia, Kamis (28/6).
Di samping efek kenaikan suku bunga acuan AS, rupiah juga melemah akibat dampak perang dagang. Terutama setelah China melemahkan mata uangnya, yuan, agar barang produksinya tetap laku, kendati ada pelarangan dari AS.
Alhasil, mata uang negara emerging market mau tidak mau ikut melemah, agar tetap kompetitif. Ujung-ujungnya, CDS di negara-negara emerging market melesat.
Indonesia tidak sendirian. CDS dari negara-negara yang peringkat utangnya mirip dengan Indonesia, seperti India dan Filipina, juga meroket.
CDS India tenor lima tahun mencapai level 91,10, yang merupakan level tertinggi di tahun ini. CDS Filipina pun merangkak naik ke 95,34.
Yield meningkat
Fund Manager Capital Asset Management Desmon Silitonga menambahkan, seiring dengan CDS yang meningkat, investor asing ramai-ramai keluar dari pasar obligasi Indonesia, karena khawatir terhadap risiko kerugian kurs. "Imbasnya, pasar obligasi Indonesia berpotensi terus melemah dalam jangka pendek ini," ujar dia.
Masalah kian rumit karena pelemahan rupiah juga mengangkat yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun. Kemarin, yield SUN menuju level 7,78%. "Kenaikan ini sudah tidak wajar karena inflasi rendah," tambah Desmon. Di sisi lain, yield US Treasury masih stabil di level 2,83%.
Karena itu, upaya stabilisasi rupiah harus menjadi prioritas. Ia meyakini, kenaikan suku bunga acuan BI untuk ketiga kalinya di tahun ini hampir pasti terjadi.
Mikail pun bilang, untuk mengurangi dampak kenaikan risiko investasi, pemerintah perlu mengurangi defisit anggaran belanja. Dengan kata lain, penerbitan SUN diharapkan tidak terlalu agresif.
Selain itu, pemerintah juga perlu mencari opsi pendanaan lain. Salah satunya dengan mencari pinjaman dana dari lembaga-lembaga internasional. "Dana yang berasal dari pinjaman sifatnya tidak tradable, jadi tidak mempengaruhi rupiah," kata Mikail.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News