Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi lonjakan inflasi menyeruak di tengah harga barang kebutuhan pokok dan energi yang menanjak. Kondisi ini turut membayangi pasar dan bisa membawa sentimen negatif bagi sejumlah saham.
Head of Research InvestasiKu Cheril Tanuwijaya menyoroti laju harga barang pokok seperti beras serta harga minyak bumi yang menjadi katalis penting terhadap inflasi. Dalam sebulan terakhir, harga minyak mentah melaju lebih kencang sekitar 15%, dibanding kenaikan bulan Juli ke Agustus yang sekitar 10%.
Harga minyak mentah dunia saat ini bahkan sudah kembali menembus di atas US$ 90 per barel. Di sisi lain, harga beras akan membawa dampak yang lebih besar bagi inflasi domestik. Belakangan, tren harga beras sedang menanjak di sejumlah daerah.
Cheril melihat dampak kenaikan harga beras terhadap inflasi bulan ini masih bisa teredam ketika diiringi stabilitas pasokan dari cadangan pemerintah.
"Untuk September dengan kondisi ini kami perkirakan inflasi akan kembali naik, namun masih di dalam batas target Bank Indonesia (BI) di 2%-4%," ungkap Cheril kepada Kontan.co.id, Selasa (19/9).
Baca Juga: Kinerja Emiten BUMN Diprediksi Tertopang Sentimen Pemilu, Cek Rekomendasi Sahamnya
Chief Economist & Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan menimpali, harga pangan dan energi memang dapat berpengaruh pada inflasi umum bulanan menjadi lebih tinggi. Tetapi, menurut dia, perhatian pasar tertuju pada inflasi inti yang mengeluarkan komponen energi dan pangan karena lebih menggambarkan tren tekanan inflasi.
Secara tahunan, inflasi umum pada September justru berpotensi turun akibat pudarnya dampak kenaikan harga BBM subsidi pada September 2022 lalu. "Secara keseluruhan, kami melihat inflasi umum tahun ini masih akan berada di kisaran target BI yaitu 3% +/- 1%," terang Katarina.
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina melihat secara bulanan ada potensi kenaikan inflasi pada September ini. Catatan Martha, selama laju inflasi masih dalam rentang target BI, dampak terhadap pasar saham tidak akan signifikan.
Pelaku pasar justru akan lebih mencermati bagaimana BI merespons potensi kenaikan inflasi tersebut. Pasalnya, salah satu cara meredam inflasi adalah dengan kenaikan suku bunga.
Tapi sejauh ini BI belum memberikan sinyal kenaikan suku bunga. "Namun jika inflasi kembali meningkat, ini akan mempersulit penurunan suku bunga, yang diharapkan pelaku pasar," kata Martha.
Saham yang Sensitif vs Tahan Banting
Cheril mengingatkan pasar saham cenderung tidak menyukai inflasi tinggi. Tapi dia sepakat, dampak terhadap pasar saham akan minim jika kenaikan inflasi masih dalam rentang target BI.
Hanya saja, kenaikan inflasi akan membawa sentimen negatif bagi sejumlah saham. Terutama pada saham-saham emiten barang & jasa konsumsi non-primer (consumer cyclicals).
Khususnya bagi emiten yang menjual produk kebutuhan sekunder bahkan tersier. "Karena pengaruh penurunan daya beli masyarakat, di mana masyarakat akan memprioritaskan kebutuhan pokok di tengah kenaikan harga," sebut Cheril.
Baca Juga: Simak Daftar Emiten yang Memiliki Relasi Dengan Bursa Karbon
Senada, Martha berpandangan jika inflasi tinggi berlangsung berbulan-bulan, maka kondisi ini akan menjadi katalis negatif bagi sektor siklikal. "Karena menurunkan daya beli masyarakat untuk produk non-primer," sebutnya.
Secara sektoral, IDX consumer cyclicals sedang turun paling dalam. Pada perdagangan Selasa (19/9), indeks saham sektor ini anjlok 1,32% saat mayoritas sektor mengalami penguatan. Melanjutkan kinerja merah pada Senin (18/9), di mana IDX consumer cyclicals ambles 2,32%.
Katarina mengamini, sektor yang sensitif terhadap perubahan daya beli masyarakat terpapar risiko lebih tinggi dari kenaikan inflasi. Namun, Katarina justru melihat sektor konsumer primer (non-siklikal) yang lebih berisiko terhadap kenaikan inflasi.
Alasannya, konsumen di sektor ini cenderung sensitif terhadap perubahan harga yang mendorong untuk lebih berhemat dengan membeli lebih sedikit atau mencari substitusi yang lebih murah (downtrading). "Belum lagi kenaikan harga komoditas bahan baku produksi perusahaan yang naik dapat menggerus marjin," kata Katarina.
Di sisi lain, sektor konsumer siklikal yang menyasar ke konsumen menengah-atas lebih tidak sensitif terhadap perubahan harga sehingga cukup resilience terhadap inflasi. "Jadi investor dapat mencermati karakter konsumen dari emiten tersebut untuk menilai dampak dari inflasi terhadap sahamnya," terang Katarina.
Sementara itu, Analis Saham Rakyat by Samuel Sekuritas Billy Halomoan menyarankan pelaku pasar untuk menghindari terlebih dulu saham sektor consumer cyclicals maupun non-cyclicals. Dalam momentum ini, investor lebih baik mencermati saham sektor energi yang sedang bullish seperti pada batubara dan minyak bumi.
Martha menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir sektor yang cukup tahan banting terhadap fluktuasi inflasi adalah perbankan khususnya saham bank big caps. Saham sektor telekomunikasi juga resilience meski tidak setangguh perbankan.
Sedangkan menurut Katarina, sektor yang memiliki pendapatan berulang (recurring income) bisa lebih resilience terhadap inflasi. Seperti di sektor telekomunikasi, operator jalan tol, pembangkit listrik, dan properti yang memiliki pendapatan sewa.
Catatan Cheril, kenaikan inflasi domestik signifikan antara lain terjadi di semester I-2022, di mana inflasi menembus 6%. Kala itu, sektor konsumen non-primer tertekan, sedangkan sektor konsumen primer mampu bertahan. Dus, Cheril menilai saham unggulan di sektor konsumen primer masih menarik dilirik.
Cheril menjagokan saham PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dengan target harga di Rp 11.800 dan stoploss pada Rp 10.000. Kemudian saham PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) dengan target harga di Rp 3.100 dan stoploss pada Rp 2.750.
Martha juga merekomendasikan saham consumer dengan produk makanan dan minuman (F&B) seperti ICBP, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR). Saham lain yang menarik dilirik adalah telekomunikasi seperti PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News