Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Manajer investasi melirik saham asing untuk dibungkus dalam reksadana. Hal tersebut diharapkan bisa menjadi bantalan saat kondisi pasar modal domestik berfluktuasi.
Salah satu manajer investasi itu adalah PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI). MI ini mengincar saham-saham luar negeri dengan fokus Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand untuk reksadana saham kelolaannya, bernama Mandiri Investa Equity ASEAN 5 Plus (ASEAN 5).
Chief Investment Officer (CIO) PT Mandiri Manajemen Investasi Priyo Santoso mengatakan, strategi investasi di efek asing dipilah menjadi negara maju dan negara berkembang dengan kondisi ekonomi serupa Indonesia.
Untuk efek asing dari negara maju seperti Singapura dan Malaysia, Priyo mengatakan memilih saham defensif seperti keuangan dan perbankan. Sedangkan untuk pemilihan saham negara Thailand dan Filipina cenderung sama dengan saham domestik. "Sebab Thailand dan Filipina cenderung memiliki kondisi yang sama dengan Indonesia," ujar Priyo.
MMI juga melirik efek dari negara yang memiliki nilai tukar stabil. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko nilai tukar akibat penghitungan nilai aktiva bersih (NAB) dalam denominasi rupiah.
Adapun untuk strategi investasi saham domestik, MMI fokus membidik efek sektor infrastruktur, properti dan konstruksi serta perbankan besar. "Untuk sektor mining, kami netral," ujar Priyo.
Tahun ini, pihaknya menerapkan strategi memperbesar porsi saham. Diperkirakan, pasar saham masih akan bullish dengan target indeks harga saham gabungan (IHSG) di akhir tahun bisa 6200. "Untuk porsi kas, kami netral dengan jumlah minimal," ujar dia.
Priyo mengklaim, reksadana dengan porsi saham luar negeri memiliki keuntungan mampu menahan kerugian akibat fluktuasi pasar modal di pasar domestik. Priyo mencontohkan, produk ini tetap membagikan return positif saat pasar modal turun pada September 2014 lalu. Saat itu, pasar modal tertekan akibat memanasnya kondisi politik domestik.
"Saat itu, ASEAN 5 mampu mengalahkan acuannya," kata Priyo.
Menilik data Infovesta Utama, rata-rata return reksadana saham pada September 2014 month on month (MoM) tercatat minus 1,13% dan indeks harga gabungan (IHSG) sebesar 0,01%. Sementara reksadana ASEAN 5 membagikan return positif 0,06%.
Menilik fund factsheet Desember 2014, produk ini menempatkan sekitar 82,77% di saham dalam negeri, sekitar 7,92% di saham Thailand dan sisanya 9,31% di pasar uang seperti kas atau deposito. Produk ini memliki kebijakan alokasi aset 80% hingga 100% di saham dan sekitar 0% hingga 20% di obligasi serta 0% hingga 20% di instrumen pasar uang.
Saham-saham yang menjadi aset dasar antara lain, saham Astra International, saham Bank Central Asia, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia serta saham Telekomunikasi Indonesia.
Produk ini diluncurkan 22 November 2013 lalu. Hingga akhir 2014, reksadana ini memiliki dana kelolaan Rp 27,82 miliar dan nilai aktiva bersih (NAB) per unit Rp 1.225. Investasi di produk ini relatif murah atau sebesar Rp 50.000 untuk minimum pembelian. Minimum penjualan kembali dan minimum saldo dipertahankan juga sebesar Rp 50.000.
Investor akan dikutip biaya pengelolaan manajer investasi maksimum 3%, biaya jasa kustodian maksimum 0,12%, biaya pembelian minimal 1% dan maksimal 2%. Sedangkan biaya penjualan kembali sampai dengan 1 tahun maksimal 1% dan 0% untuk penjualan di atas satu tahun. Biaya pengalihan dikenakan maksimum 1%.
Analis Infovesta Utama Viliawati mengatakan reksadana ini cukup prospektif tahun ini. Kinerja produk ini akan ditopang oleh penempatan portfolio yang mayoritas pada saham sektor perbankan dan infrastruktur. "Sektor infrastruktir diperkirakan memperoleh sentimen positif dari pembangunan infrastruktur pemerintah," tutur Vilia.
Reksadana ini juga akan ditopang oleh kinerja bursa saham ASEAN khususnya Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand yang menjadi aset dasar produk. "Namun, pengaruhnya tidak akan signifikan," tutur dia.
Analis Infovesta Utama Yosua Zisokhi mengatakan tekanan politik dan isu kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, the Fed bakal menjadi faktor penghambat kinerja reksadana ini. Dia memperkirakan, kinerja produk ini tidak akan jauh berbeda dibandingkan IHSG dan rata-rata return reksadana saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News