Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah loyo dihadapan dolar Amerika Serikat (AS). Sejak pertengahan bulan Agustus 2023, rupiah dominan parkir di area Rp 15.300-per dolar AS. Di mana, rupiah di pasar spot cenderung melemah dan berada di level Rp 15.295 per dolar AS pada Jumat (25/8).
Financial Expert Ajaib Sekuritas Ratih Mustikoningsih mengatakan, kurs rupiah mengalami depresiasi 1,19% sejak awal bulan Agustus. Jika dibandingkan dengan penguatan tertinggi pada Mei 2023 di level Rp 14.632 per dolar AS, maka rupiah telah merosot 4,54%.
Ratih menyoroti dua faktor yang menyeret pelemahan rupiah. Secara domestik, walau neraca dagang Indonesia masih surplus selama 39 beruntun hingga Juli 2023, namun surplus telah menyusut jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Selain itu, neraca pembayaran pada kuartal II-2023 mengalami defisit US$ 7,4 miliar, setelah dua kuartal sebelumnya masih tercatat surplus. "Kondisi ini berpotensi menurunkan cadangan devisa sebagai penopang stabilitas nilai tukar rupiah," sebut Ratih kepada Kontan.co.id, Minggu (27/8).
Baca Juga: Terjadi Rotasi Kinerja Saham, Ini Sektor Unggulannya
Pada saat yang sama, kondisi eksternal turut memicu pelemahan rupiah. Seperti Bank Sentral di Kawasan Eropa, Inggris dan AS diproyeksikan masih menetapkan suku bunga tinggi hingga akhir tahun 2023. Terbaru, pelaku pasar mencermati pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell dalam forum Jackson Hole Symposium pada Sabtu (26/8) yang masih bernada hawkish.
Kepala bank sentral AS itu memberi sinyal kenaikan suku bunga pada FOMC September mendatang. "Nada tersebut jadi sentimen negatif untuk rupiah karena spread suku bunga BI dan The Fed berpotensi 0%," imbuh Ratih.
Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro ikut melihat pelemahan rupiah di bulan ini terjadi karena masih tingginya ekspektasi kenaikan Federal Funds Rate (FFR). Sehingga membuat investor melepas aset-aset seperti saham dan obligasi ke instrumen safe haven yakni indeks dolar AS.
Posisi rupiah yang tengah berada di level Rp 15.200 - Rp 15.300 per dolar AS merosot dibandingkan kuartal II-2023 yang sempat dominan parkir di area Rp 14.800 - Rp 14.900 per dolar AS. Hanya saja, pada rentang ini Nico melihat fluktuasinya masih wajar jika berkaca dari posisi tahun lalu.
Analis Saham Rakyat by Samuel Sekuritas Billy Halomoan menimpali, kenaikan suku bunga The Fed berpotensi membawa US Dollar naik ke level yang lebih tinggi. Billy memprediksi kondisi ini nantinya berpotensi menyeret kurs rupiah hingga ke level Rp 15.400-an per dolar AS.
Dampak Terhadap Emiten
Volatilitas nilai tukar rupiah sejatinya bisa memberikan dampak cukup signifikan bagi emiten yang punya sensitivitas terhadap perubahan kurs. Pertama, membebani emiten yang punya utang atau obligasi dalam mata uang asing, terutama dolar AS dengan jumlah tinggi.
Baca Juga: Ini Emiten yang Diuntungkan dan Dirugikan Kebijakan BI Menahan Suku Bunga
Sejumlah sektor yang memiliki porsi utang jumbo dalam dolar AS antara lain telekomunikasi seperti PT XL Axiata Tbk (EXCL), PT Indosat Tbk (ISAT) dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM). Kemudian, sektor properti seperti PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), dan PT Modernland Realty Tbk (MDLN).
Emiten lain yang punya utang dalam dolar AS di antaranya PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA). Kondisi nilai tukar dan posisi suku bunga tinggi bisa mendongkrak beban keuangan.
"Walaupun harus dilihat lagi bagaimana porsi utangnya terhadap arus kas perusahaan," terang Billy.
Dalam upaya membatasi risiko, umumnya emiten akan mencari refinancing. Kemudian menggunakan instrumen keuangan derivatif atau memakai skema lindung nilai (hedging). Beberapa emiten menerapkan hedging dalam bentuk call spread option seperti yang dilakukan ASRI dan LPKR.
Kedua, emiten yang sensitif terhadap volatilitas kurs adalah perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Depresiasi nilai tukar bisa berdampak langsung terhadap pendapatan maupun laba bersih perusahaan, apalagi membengkaknya biaya produksi bakal menekan margin laba.
"Kenaikan kurs dolar dapat mengurangi nilai pendapatan dan laba jika dikonversi ke mata uang domestik. Kinerja keuangan emiten bisa bervariasi, menghasilkan keuntungan atau kerugian yang dapat memengaruhi arus kas operasional perusahaan," terang Billy.
Emiten dalam kategori ini antara lain ada di sektor farmasi, otomotif, serta sejumlah emiten konsumer dan penjualan ritel yang bahan baku atau poduknya banyak bersumber dari impor. Di antaranya ada PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), dan PT Astra Internasional Tbk (ASII).
Kategori ini terutama ada di sektor komoditas dan energi seperti migas dan batubara. "Karena produk energi mengikuti acuan harga internasional dan menggunakan dolar AS untuk penjualan ekspornya. Jadi ada suatu keuntungan bagi emiten kalau harga dolar naik," terang Billy.