kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.505.000   -15.000   -0,99%
  • USD/IDR 16.279   -184,00   -1,14%
  • IDX 7.024   -84,31   -1,19%
  • KOMPAS100 1.049   -14,75   -1,39%
  • LQ45 824   -10,36   -1,24%
  • ISSI 214   -2,69   -1,24%
  • IDX30 421   -5,84   -1,37%
  • IDXHIDIV20 507   -6,50   -1,27%
  • IDX80 119   -1,73   -1,43%
  • IDXV30 125   -1,76   -1,39%
  • IDXQ30 140   -1,85   -1,31%

Inflasi Global Melandai, Aset-Aset Berisiko Kembali Dilirik


Senin, 17 Juli 2023 / 07:40 WIB
Inflasi Global Melandai, Aset-Aset Berisiko Kembali Dilirik


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aset-aset berisiko kembali dilirik saat inflasi turun. Investor mulai berani untuk mencari peruntungan yang lebih besar di aset-aset berisiko.

Dalam sebulan terakhir, aset berisiko seperti saham ataupun kripto naik signifikan meski tren penurunan suku bunga masih dalam perjalanan. Sebagian investor juga memanfaatkan momentum penurunan kinerja dolar AS untuk mengambil keuntungan nilai tukar valuta asing (valas).

Chief Investment Officer STAR AM Susanto Chandra menjelaskan, apabila inflasi dapat terkontrol pada level yang rendah, maka tren kenaikan suku bunga akan berhenti yang akan diikuti dengan ekspektasi penurunan suku bunga.

“Saat hal tersebut terjadi, aset yang memiliki sensitifitas terhadap suku bunga akan lebih diuntungkan seperti saham sektor perbankan dan teknologi, serta obligasi tenor panjang,” kata Susanto kepada Kontan.co.id, Sabtu (15/7).

Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto mengatakan, ketika inflasi cenderung turun dan kegiatan ekonomi mulai memperlihatkan peningkatan, investor umumnya mulai berani untuk melakukan investasi dengan risiko yang relatif lebih tinggi. Bahkan, investasi untuk spekulasi yang terukur.

“Jadi wajar saja produk-produk investasi risiko tinggi mulai naik karena investor optimistis,” ungkap Eko kepada Kontan.co.id, Jumat (14/7).

Baca Juga: Inflasi AS Melambat, Intip Rekomendasi Saham Pilihan Berikut

Seperti diketahui, The Fed saat ini sudah hampir mendekati target penurunan inflasi di level 2% dan menyisakan potensi kenaikan suku bunga dua kali lagi yang saat ini berkisar 5%-5,25%.

Inflasi tahunan Amerika Serikat (AS) melambat menjadi 3,0% secara tahunan (YoY) di bulan Juni dari 4,0% YoY di bulan Mei 2023. Hasil tersebut sejalan dengan penurunan inflasi inti AS menjadi 4,8% YoY di bulan Juni 2023 dari sebelumnya 5,3% YoY di bulan Mei 2023.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) masih mantap dengan suku bunga di level 5,75% karena menilai inflasi mampu terkendali. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juni 2023 tercatat sebesar 0,14% mtm, sehingga inflasi IHK secara tahunan menjadi 3,52% yoy, lebih rendah dari inflasi IHK bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,00% yoy.

Susanto menuturkan, investor akan kembali melirik investasi saham ketika ekspektasi penurunan suku bunga The Fed mulai meningkat. Investor asing akan melakukan penyeimbangan kembali alias rebalancing portofolio untuk masuk ke pasar modal dikarenakan ekspektasi nilai tukar dolar AS yang cenderung menguat menjadi entry average down saham yang baik.

Harga obligasi juga berpotensi mengalami kenaikan saat suku bunga mengalami penurunan. Oleh karena itu, obligasi masih layak di pertimbangan sebagai instrumen investasi untuk jangka pendek dan menengah.

Menurut Susanto, investor konservatif dapat memanfaatkan reksadana pendapatan tetap tenor pendek terlebih dahulu sambil menunggu momentum pada kuartal IV-2023. Sementara itu, investor aset kripto yang berisiko tinggi dapat mulai mencicil pembelian seiring momentum menuju halving bitcoin yang bakal terjadi pada 2024.

Aset kripto terutama Bitcoin sebagai aset dengan kapitalisasi pasar terbesar biasanya akan mengalami penguatan selama periode halving. Selain itu, Bitcoin saat ini terpantau menguat sekitar 0,18% secara bulanan ke level harga US$ 30,295, per 15 Juli 2023.

Baca Juga: Penerbitan Obligasi Korporasi Masih Lesu Hingga Juni 2023

Eko menambahkan, ketika inflasi turun dan perekonomian stabil, maka investor berkarakter agresif bisa mulai melepas cadangan uang tunainya untuk mengejar keuntungan yang lebih besar. Namun, investor yang lebih konservatif sebaiknya memulai investasi risiko tinggi yang lebih terukur tingkat risikonya seperti emas ataupun reksadana saham dan reksadana campuran.

Adapun, Eko menyebutkan, investor dapat menerapkan strategi Dollar Cost Averaging (DCA) yang sangat efektif untuk investasi jangka panjang. DCA merupakan strategi investasi dengan metode sederhana yang memungkinkan investor berinvestasi secara rutin dalam periode tertentu. Selain itu, diversifikasi membantu mengatur risiko investor.

Perencana Keuangan OneShildt Agustina Fitria memandang, jika investor akan berinvestasi untuk jangka panjang, maka lebih baik dilakukan secara konsisten dan fokus pada instrumen yang dipahami potensi untung dan potensi risikonya. Obligasi yang diterbitkan pada era bunga tinggi bisa menjadi salah satu pilihan karena investor dapat menikmati kuponnya dalam jangka panjang.

Namun jauh sebelum itu, investor harus mengetahui terlebih dahulu tujuan investasi sebelum memilih produk investasi. Investor perlu mengetahui apa yang ingin dicapai, berapa jangka waktu untuk mencapainya dan seberapa besar risk appetite atau selera risiko investasi.

“Kalau risk appetite tinggi, tentu lebih siap memilih instrumen investasi apa saja, bahkan yang spekulatif,” ujar Agustina kepada Kontan.co.id, Jumat (14/7).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×