kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dibayangi Inflasi dan Rebalancing Aset, Cermati Skema Investasi Berikut ini


Selasa, 24 Januari 2023 / 21:32 WIB
Dibayangi Inflasi dan Rebalancing Aset, Cermati Skema Investasi Berikut ini
ILUSTRASI. Pasar modal. Dibayangi Inflasi dan Rebalancing Aset, Cermati Skema Investasi Berikut ini.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Laju inflasi di sejumlah negara sudah melandai, meski belum ada jaminan bisa sepenuhnya terkendali. Ditambah kekhawatiran resesi global yang masih membayangi, investor perlu lebih cermat dalam menyusun skema investasi.

Sebelum melangkah ke prospek investasi, mari menilik kembali salah satu faktor kunci yang berkaitan dengan stabilitas inflasi dan ekonomi global, yakni peredaran dolar Amerika Serikat (AS). Secara historis, peredaran dolar AS meluap tersulut oleh krisis ekonomi.

Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan peredaran dolar AS dua dekade terakhir, pada tahun 2004 jumlah dolar yang dicetak masih di level US$ 750 miliar-US$ 800 miliar. Peredaran dolar meroket pada 2008 hingga ke posisi US$ 2,2 triliun, sebagai respons atas krisis ekonomi yang melanda kala itu.

Baca Juga: Harap-Harap Cemas Menanti January Effect Datang

Ketika pandemi covid-19 melanda pada tahun 2020, dolar AS yang dicetak kembali melesat sampai ke US$ 7,17 triliun. Peredaran dolar AS semakin meluap hingga mencapai level US$ 8,9 triliun pada pertengahan tahun lalu.

Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro membeberkan, secara historis pemerintah AS lebih suka memberikan dampak pemulihan yang cepat berupa kebijakan moneter dibandingkan dengan kebijakan fiskal yang dampaknya terasa lebih lama. Dus, AS cenderung memilih opsi mencetak dolar sebagai langkah dalam penanggulangan atau recovery krisis.

Tapi, tak hanya dari faktor dalam negeri, lonjakan peredaran dolar AS juga dipicu permintaan global. "Situasi krisis membuat banyak investor semakin ingin mengoleksi US Dollar sebagai salah satu instrumen yang dianggap safe haven," ujar Nico kepada Kontan.co.id, Selasa (24/1).

Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo menambahkan, dolar AS merupakan cadangan mata uang yang pada umumnya dimiliki oleh negara di dunia dalam cadangan devisa mereka. Sehingga tidak mengherankan jika permintaan dolar AS meningkat saat terjadi krisis.

Baca Juga: Stabilitas Politik dan Fundamental Ekonomi Jadi Kunci Tarik Investasi Jelang Pemilu

Meski begitu, banjir dolar AS saat pandemi covid-19 bukan menjadi faktor tunggal pendorong lonjakan inflasi. Sutopo bilang, kemacetan rantai pasok (supply chain) saat pandemi menjadi faktor signifikan. Apalagi diperparah dengan dampak dari perang Rusia-Ukraina.

Nico punya pandangan serupa. Bahkan di Negeri Paman Sam sendiri, inflasi yang sulit melandai bukan semata-mata karena meluapnya peredaran dolar. "Yang membuat inflasi AS sulit turun karena masih tingginya inflasi jasa mereka, khususnya terhadap inflasi sewa rumah," sebut Nico.

Ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri menyoroti jumlah uang beredar di AS juga sudah menurun pada akhir tahun 2022, yang tercatat sebesar US$ 21,35 triliun per bulan November. Nilai ini merupakan posisi terendahnya sejak Januari 2022.

Baca Juga: Banyak Perusahaan Antre IPO, Ini Calon Emiten yang Menarik Versi Analis

Tendensi penurunan jumlah uang beredar dibarengi tingkat inflasi yang mulai melandai, sebesar 6,5% pada Desember 2022.

"Namun laju inflasi saat ini masih diharapkan terus menurun menuju sasaran jangka panjang The Federal Reserve di level 2%, sehingga jumlah uang beredar juga harus menurun ke sekitar US$ 15 triliun," terang Reny.

Menimbang pasang surut peredaran dolar dan laju inflasi di Negeri Paman Sam, lantas bagaimana dampaknya terhadap ekonomi dan pasar modal Indonesia? Menjawab pertanyaan itu, Reny menilai perekonomian dan pasar Indonesia masih cukup tangguh terhadap risiko eksternal.

Termasuk di dalamnya risiko dari kenaikan suku bunga acuan, inflasi AS, dan meningkatnya peredaran dolar AS. Indikatornya, inflasi domestik masih terkendali di kisaran 5,5% pada tahun 2022 dan berpotensi terpangkas menjadi 3,6% pada tahun 2023.




TERBARU

[X]
×