Reporter: Uji Agung Santosa, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Keputusan The Federal Reserve (The Fed) yang dipimpin Ben S Bernanke, menunda pengurangan stimulus pada bulan September langsung meniupkan gairah di pasar keuangan negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Lihat saja. Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin (19/9) ditutup menguat 4,65% menjadi 4.670,7. Transaksi netto investor asing mencatatkan pembelian bersih sebanyak Rp 1,05 triliun. Itu artinya, dalam hitungan sepekan, transaksi beli asing mencapai Rp 1,24 triliun.
Imbas menguatnya IHSG juga telah membuat rupiah mengeluarkan otot kuatnya untuk kali pertama di bulan September ini di bawah angka Rp 11.000. Sampai Kamis pukul 22.35 WIB, rupiah di level Rp 10.847,05 per dollar Amerika Serikat (AS).
Meski pasar keuangan kembali berbinar, pelaku pasar keuangan harus tetap waspada. Keputusan penundaan stimulus (tapering) The Fed ini hanya berlangsung sementara. Pengurangan stimulus pasti akan terjadi dalam waktu cepat atau lambat.
Pemerintah dan Bank Indonesia juga tak boleh terbuai. Ancaman hengkangnya dana-dana panas dari pasar keuangan Indonesia belum akan sirna. Apalagi, pergerakan hot money lebih banyak dipengaruhi kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
Ancaman inflasi dan defisit neraca transaksi berjalan masih berisiko menimbulkan persepsi negatif bahwa ekonomi Indonesia sudah terlalu panas. "Jadi penundaan pengurangan quantative easing tak menyelesaikan masalah," ujar Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti.
Penundaan tapering memang memberikan peluang likuiditas kembali ke emerging market, termasuk Indonesia. Alhasil, tekanan ke cadangan devisa sedikit berkurang. "Penundaan tapering juga berpengaruh positif terhadap neraca pembayaran, tapi tidak current account, " imbuh ekonom BTN A. Prasetyantoko.
Bambang Brodjonegoro mengakui, dalam jangka panjang, fundamental ekonomi Indonesia memang belum kuat. "Perlu reformasi struktural untuk memperbaiki current accout deficit dan inflasi," tandas pelaksana tugas (Plt) kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan di Bali, Kamis (19/9).Maka itu, BI dan pemerintah berkomitmen untuk terus memperbaiki defisit current account dan inflasi.
Selain itu, menjaga kestabilan harga pangan, mengendalikan impor, diversifikasi energi, perbaikan infrastruktur, serta pembatasan subsidi BBM harus tetap menjadi prioritas penting pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News