Reporter: Nur Qolbi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks saham sektor perkebunan turun 0,80% ke level 1.349,10 pada perdagangan Senin (22/7). Sementara itu, sepanjang 2019, sektor yang dominan diisi oleh emiten penghasil minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ini telah turun 13,76%.
Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia Hariyanto Wijaya mengatakan, prospek bisnis emiten CPO pada sisa tahun ini masih kurang bagus. Alasannya, harga CPO masih rendah karena faktor kelebihan produksi dan persediaan CPO yang tinggi.
Menurut dia, saham CPO akan kembali menarik jika harga CPO mengalami kenaikan. Oleh karena itu, ia belum bisa merekomendasikan buy untuk saham-saham emiten ini. “Saat ini kami memiliki rekomendasi hold atas semua saham perkebunan kelapa sawit,” kata dia saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (22/7).
Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony menambahkan, selama Uni Eropa masih melarang impor bahan CPO, maka CPO berpeluang tetap oversupply yang bisa membuat harganya tetap rendah. “Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan upaya negosiasi agar CPO dapat masuk ke Eropa,” ujar dia. Chris merekomendasikan investor untuk wait and see alias menunggu dan melihat situasi sambil menunggu rekomendasi lebih lanjut atas saham-saham CPO ini.
Di sisi lain, Analis Samuel Sekuritas Sharlita Malik melihat prospek saham CPO untuk jangka panjang masih positif meski dibayangi sentimen negatif. Menurut dia, sentimen negatif bagi sektor ini dalam beberapa bulan ke depan berasal dari peningkatan produksi kedelai dari Argentina dan belum rampungya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).
Ia merevisi harga rata-rata CPO 2019 menjadi MYR 2.300 per ton, dari sebelumnya MYR 2.550 per ton. Alasannya, harga CPO sepanjang tahun ini hanya berada di level MYR 2.160 per ton.
Meskipun begitu, menurut dia, memasuki semester II 2019, harga CPO berpeluang menguat dengan harga tertinggi mencapai MYR 2.450 per ton. “Hal ini didukung oleh permintaan musiman yang lebih tinggi pada semester ini, implementasi B20 di Indonesia dan B10 di Malaysia,” kata dia.
Untuk jangka panjang, Sharlita melihat saham sektor CPO ini akan cerah sejalan dengan rencana kebijakan biodeiesel 30% (B30) di Indonesia yang akan diimplementasikan pada 2020. “Dengan estimasi konsumsi tahunan 11 juta ton akan cukup untuk menggantikan potensi berkurangnya permintaan dari Uni Eropa sekitar 6 juta ton per tahun,” ucap Sharlita.
Ia merekomendasikan investor untuk buy dua saham emiten CPO, yaitu PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dengan target harga hingga akhir tahun masing-masing Rp 1.420 dan Rp 12.500 per saham.
Menurut dia, LSIP memang menjadi top pick dalam sektor CPO seiring dengan fundamental yang kuat. Apalagi fokus LSIP yang murni bergerak di sektor upstream menyebabkan tingkat profitabilitas LSIP menjadi yang tertinggi dibanding perusahaan lain. Ia memproyeksikan LSIP bisa mencatatkan laba bersih Rp 435 miliar pada tahun ini atau naik 32,21% secara tahunan dari Rp 329 miliar.
Di sisi lain, LSIP tidak berencana melakukan pencairan utang dalam beberapa tahun ke depan. "Hal ini akan membuat LSIP menjadi perusahaan dengan fundamental yang baik yaitu, clean balance sheet dengan zero debt level," kata Sharlita
Sementara itu, untuk AALI, Sharlita melihat perusahan ini masih bisa mencatatkan kinerja positif hingga akhir 2019 dengan pendapatan Rp 18,26 triliun dan sebesar Rp 19,66 triliun pada 2020. Per perdagangan Senin (22/7), harga saham LSIP berada di level Rp 1.075 per saham dan AALI Rp 10.050 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News