kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.098.000   -17.000   -0,80%
  • USD/IDR 16.571   109,00   0,66%
  • IDX 8.008   -16,75   -0,21%
  • KOMPAS100 1.116   -7,41   -0,66%
  • LQ45 809   -5,92   -0,73%
  • ISSI 276   0,10   0,04%
  • IDX30 421   -3,05   -0,72%
  • IDXHIDIV20 483   -7,14   -1,46%
  • IDX80 123   -0,71   -0,57%
  • IDXV30 132   -1,87   -1,40%
  • IDXQ30 134   -2,10   -1,54%

IHSG Tembus 8.000, Dana Asing Malah Cabut dari Pasar Saham


Kamis, 18 September 2025 / 20:35 WIB
IHSG Tembus 8.000, Dana Asing Malah Cabut dari Pasar Saham
ILUSTRASI. Aliran dana asing tercatat masih meninggalkan pasar saham Tanah Air, meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tembus level 8.000.


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliran dana asing tercatat masih meninggalkan pasar saham Tanah Air. Padahal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menembus rekor all time high (ATH) dan bertengger di atas level 8.000.

IHSG ditutup melemah 0,21% atau 16,746 poin ke level 8.008 pada perdagangan, Kamis (18/9/2025).

Meskipun melemah, IHSG masih bertahan di atas level 8.000 yang tembus setelah Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Rabu (17/9/2025). IHSG juga sudah naik 13,11% sejak awal tahun alias year to date (YTD).

Sayangnya, pergerakan IHSG tak sejalan dengan nilai tukar rupiah dan aliran dana asing. Kamis (18/9/2025), nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 16.527 per dolar Amerika Serikat (AS), melemah 0,54% dari penutupan hari sebelumnya di Rp 16.437 per dolar AS.

Baca Juga: IHSG Ditutup Terkoreksi 0,21% Kamis (18/9), Top Losers LQ45: AMRT, MAPA, MDKA

Dana asing juga terus keluar dari bursa saham domestik. Kamis (18/9/2025), berdasarkan data dari laman Bursa Efek Indonesia (BEI), dana asing keluar dari pasar saham Indonesia sebesar Rp 358,27 miliar.

Sejak awal tahun, akumulasi dana asing yang keluar dari pasar saham sebanyak Rp 61,56 triliun.

Melansir RTI, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) paling banyak dijual asing pada Kamis (18/9). Masing-masing mencatatkan net sell sebesar Rp 838,9 miliar, Rp 248,6 miliar, dan Rp 121,5 miliar.

Investor Timbang Risiko

Ekonom Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai, aliran dana asing keluar cukup deras karena investor global masih menimbang faktor risiko domestik, mulai dari ketidakpastian fiskal pasca pergantian menteri keuangan hingga proyeksi pergerakan rupiah yang cenderung melemah.

Secara sektoral, asing juga paling banyak melepas saham big banks, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), BBCA, dan BMRI, serta komoditas berbasis energi.

“Alasannya, karena valuasi saham-saham tersebut sudah tinggi,” katanya kepada Kontan, Kamis (18/9).

Menurut Felix, dana asing yang keluar dari Indonesia sebagian besar beralih ke pasar obligasi negara berkembang dengan imbal hasil lebih menarik seperti India dan Meksiko.

“Lalu juga ke ekuitas di negara yang punya stabilitas politik-fiskal lebih terjaga, seperti Thailand,” ungkapnya.

Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia Harry Su mengatakan, dana asing banyak bergeser ke bursa regional lain yang dianggap lebih stabil, seperti Kospi, Hang Seng, TWSE, dan Nikkei.

Baca Juga: IHSG Turun dari Rekor Tertinggi Hari Ini (18/9), Net Sell Terbesar di Saham Bank

Tertolong Saham Grup Konglomerat

Kenaikan IHSG sejauh ini lebih banyak didorong pergerakan saham-saham tertentu dari Grup Konglomerasi, seperti PT DCI Indonesia Tbk (DCII), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), dan PT Multipolar Technology Tbk (MLPT).

Tanpa kontribusi kelima saham itu, Harry menghitung bahwa IHSG per 18 September ini sebenarnya hanya berada di kisaran 7.201, dengan gap hingga 10,1%. Level itu pun masih lebih rendah dari level IHSG di tahun 2023 yang sebesar 7.273.

“Kelima saham itu punya simple average price to earning ratio (PER) hampir 500x, sedangkan melansir Bloomberg, average market PER saham Tanah Air hanya sekitar 12x,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (18/9).

Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat mengatakan, pergerakan IHSG saat ini sayangnya tak lagi mencerminkan pergerakan pasar saham Tanah Air secara keseluruhan. Ini lantaran, kenaikannya yang semu hanya digerakan beberapa saham Grup Konglomerasi.

Hal itu bisa tercermin juga dari pergerakan indeks LQ45 yang hari ini turun 0,73% dan malah terkoreksi 2,10% YTD, berbanding terbalik dengan gerak IHSG sejak awal tahun.

“Saham-saham itu (penggerak IHSG) tak banyak asing yang masuk, kalaupun ada kecil. Akhirnya, pergerakan IHSG tetap didominasi investor domestik, walaupun juga bukan investor ritel. Sebab, yang beli lebih banyak dari para pemegang saham pengendalinya,” katanya kepada Kontan, Kamis (18/9).

Baca Juga: IHSG Bertahan di Level 8.000, Simak Proyeksi Pergerakannya

Sementara, emiten di dalam indeks LQ45 punya porsi investor asing yang lebih besar. Alhasil, meskipun IHSG naik, tetapi minat asing untuk menaruh dana di pasar saham Tanah Air tetap turun.

Salah satu sentimen yang membuat asing pergi adalah kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menginjeksi Rp 200 triliun ke himbara.

“Ini intervensi dari pemerintah terhadap kinerja perbankan, yang membuat Himbara mendapat beban tambahan, dari Kementerian Keuangan dan juga Danantara,” katanya.

Teguh melihat, asing kemungkinan masuk ke pasar Jepang dan China. Bisa dilihat, Nikkei 225 Jepang ditutup menguat 1,15% ke rekor baru 45.303,43 pada perdagangan hari ini.

Prospek dan Rekomendasi

Untuk mengobati anomali gerak IHSG tersebut, Teguh melihat, harus ada perombakan kebijakan terkait initial public offering (IPO). Bursa Efek Indonesia (BEI) harus membuat aturan untuk meningkatkan kualitas emiten yang hendak IPO.

Selain itu, kebijakan liquidity provider juga sebaiknya dikaji ulang. Sebab, kebijakan itu layaknya hanya sebagai stimulan, bukan obat penawar masalah likuiditas di pasar saham Tanah Air.

IHSG kemungkinan bisa saja bergerak di kisaran 8.000 – 8.500 pada akhir 2025 nanti. Tapi, ini tak berarti pasar saham domestik dalam keadaan yang baik-baik saja.

“IHSG yang tak lagi mencerminkan pasar membuat investor kebingungan,” katanya. Pun, jika investor memilih untuk melihat gerak indeks LQ45 sebagai acuan berinvestasi, tampaknya bukan strategi yang populer dan kinerja emiten konstituennya cenderung turun.

Baca Juga: Emiten Ramai Gelar Buyback, Cermati Rekomendasi Analis Berikut

Alhasil, Teguh menyarankan investor untuk mencermati saham komoditas minyak kelapa sawit alias CPO, emas, dan nikel. Sentimen untuk emiten CPO dan emas berasal dari kenaikan harga dua komoditas itu. Sementara, sentimen untuk emiten nikel berasal dari kebijakan pemerintah yang masih berfokus membangun hilirisasi.

“TAPG, LSIP, AALI itu tengah naik. Tidak usah bingung dengan (pergerakan) IHSG, fokus saja di saham-saham itu,” ungkapnya. Teguh juga tak menyarankan investor untuk melirik saham perbankan saat ini lantaran beban mereka yang berat usai dapat injeksi Rp 200 triliun dari Kementerian Keuangan.

Felix bilang, di sisa tahun ini tren net sell berpotensi berlanjut, meskipun tekanannya bisa lebih moderat seiring suku bunga global menurun. Naiknya IHSG diiringi net sell asing sebenarnya bukan masalah besar, karena investor domestik justru menjadi penopang utama pergerakan.

Sentimen positif ke depan datang dari pelonggaran moneter BI, stimulus fiskal pemerintah, dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%.

“Sementara sentimen negatif berasal dari potensi pelemahan rupiah, ketidakpastian kebijakan fiskal, dan tensi geopolitik global,” ungkapnya.

Di kondisi saat ini, investor asing kemungkinan akan tetap selektif. Sektor perbankan besar dan konsumer defensif masih menarik karena fundamental solid, profitabilitas kuat, dan posisi sebagai proxy pertumbuhan domestik.

“Saham BUMN bisa kembali dilirik nanti jika ada kepastian kebijakan dividen dan arah restrukturisasi yang jelas. Sementara, emiten grup konglomerasi tetap jadi pilihan untuk diversifikasi,” paparnya.

Masih Wajar

Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan mengatakan, kenaikan IHSG yang disertai dengan net sell asing saat ini sebenarnya masih wajar. Hal ini menunjukkan bahwa investor domestik cukup kuat dan mampu menjadi penopang utama pasar.

Bahkan, kondisi ini bisa menjadi sinyal bahwa pasar saham Indonesia semakin resilien. “Jika dalam waktu dekat kepercayaan investor asing mulai pulih, maka IHSG berpotensi menguat lebih tinggi dengan dukungan dua arah, baik dari domestik maupun asing,” katanya kepada Kontan, Kamis (18/9).

Dari sisi sektor, perbankan big caps, seperti BMRI dan BBRI, masih menjadi pilihan utama bagi asing dalam jangka panjang. Ini lantaran keduanya memiliki likuiditas besar, dividend yield yang menarik, serta eksposur yang luas terhadap pembiayaan ekonomi nasional.

Baca Juga: Kinerja SSMS Semester I 2025 Tumbuh Double Digit, Simak Rekomendasi Analis

Selain itu, sektor energi baru dan tambang, seperti MDKA, INCO, dan MEDC, juga patut diperhatikan. “Sektor ini sejalan dengan agenda hilirisasi pemerintah serta tren global transisi energi yang ramah lingkungan (ESG),” ungkapnya.

Senada dengan Felix dan Ekky, Harry bilang bahwa pemangkasan suku bunga BI 25 bps ke level 4,75% membuka peluang arus dana asing kembali masuk, terutama ke sektor perbankan karena akan menekan biaya dana (cost of fund/CoF) dan berpotensi memperbaiki net interest margin (NIM).

“Namun, risiko outflow tetap ada akibat ketidakpastian politik, defisit fiskal, dan arah regulasi yang belum jelas,” katanya. Harry memproyeksikan IHSG bisa ada di level 8.200 di akhir tahun 2025.

Jika aliran dana asing kembali masuk, sektor perbankan diperkirakan akan menjadi destinasi utama. Saham-saham bank BUMN berpotensi mendapat perhatian lebih besar, terutama bila laporan keuangan mereka di kuartal II 2025 menunjukkan perbaikan NIM setelah penurunan CoF pasca pemangkasan suku bunga.

Harry melihat, BBCA bisa menjadi salah satu saham unggulan jika terjadi foreign inflow. Meskipun pekan lalu mencatat net sell asing sebesar Rp3,8 triliun, BBCA tetap memiliki fundamental solid dengan kualitas aset yang terjaga.

“Basis Current Account Savings Account (CASA) dominan, serta return of equity (ROE) terbaik di sektor perbankan yaitu sebesar 25,2%, dibandingkan di tahun 2024 sebesar 24,8%,” ungkapnya. Rekomendasi beli pun disematkan Harry untuk BBCA dengan target harga Rp 10.000 per saham.

Baca Juga: Indeks Basic Material Menguat 38,31%, Cermati Rekomendasi Sahamnya

Selanjutnya: Ketemu Pimpinan DPR, Driver Ojol Tolak Komisi 10% dan Fokus Soal Tarif

Menarik Dibaca: 4 Penyebab Ketiak Tetap Bau meski Sudah Pakai Deodoran, Perhatikan Cara Penggunaannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Business Contract Drafting GenAI Use Cases and Technology Investment | Real-World Applications in Healthcare, FMCG, Retail, and Finance

[X]
×