Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di pengujung semester I-2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melaju menuju level 7.000. Pada perdagangan kemarin (27/6), IHSG melonjak 0,90% ke level 6.967,95.
Situasi ini memupuk harapan IHSG bisa kembali bangkit di semester II-2024. Meski begitu, sebaiknya jangan euforia terlebih dulu. Sebab, awan kelabu masih belum sepenuhnya tersapu dari bursa saham Indonesia.
Jika diakumulasi secara year to date, IHSG masih dalam posisi minus 4,19%. IHSG berada di jajaran indeks saham paling jeblok di antara bursa kawasan ASEAN dan Asia Pasifik.Jebloknya IHSG mendapat afirmasi dari penilaian perusahaan jasa keuangan dan investasi global, yang memangkas rating pasar saham Indonesia.
Terbaru ada HSBC Holdings Plc. yang menurunkan peringkat ekuitas Indonesia dari overweight menjadi netral. Alasannya adalah kondisi suku bunga yang masih tinggi, nilai tukar rupiah yang melemah, serta ada ketidakpastian seputar kebijakan pemerintah di tengah masa transisi.
Baca Juga: IHSG Naik, 9 dari 11 Indeks Sektoral Ijo Royo-Royo Jumat Lalu (27 Juni 2024)
Sebelumnya, Morgan Stanley memangkas rekomendasi saham-saham Indonesia menjadi underweight dalam portofolio investasi mereka untuk pasar Asia dan emerging markets. Alasannya tak jauh beda, mempertimbangkan kekhawatiran terhadap kebijakan fiskal Indonesia ke depan dan menguatnya dolar Amerika Serikat (AS).
Founder Stocknow.id Hendra Wardana menyoroti sejumlah faktor yang membuat performa saham Indonesia masih melaju lambat di semester I-2024. Pertama, sentimen makro-ekonomi termasuk arah suku bunga acuan domestik maupun global, yang membuat para investor bersikap lebih berhati-hati di pasar saham.
Kedua, efek dari nilai tukar rupiah yang bergerak dalam tren melemah hingga telah menembus level Rp 16.400 per dolar AS. Ketiga, para investor mempertimbangkan faktor politik terkait transisi pemerintahan, yang membuat investor cenderung menunggu kepastian sebelum membuat keputusan investasi yang besar.
Keempat, pertimbangan terkait kinerja sejumlah emiten yang kurang memuaskan dan kebijakan otoritas pasar modal yang belum memberikan stimulus kuat untuk menambah daya tarik.
"Gabungan faktor-faktor ini menciptakan kondisi yang menantang bagi pasar saham Indonesia pada paruh pertama tahun ini," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Kamis (27/6).
Baca Juga: Cermati Rekomendasi Teknikal Saham INDY, ARTO, HRUM, ICBP Untuk Hari Ini (28/6)
Junior Research Analyst Panin Sekuritas Sarkia Adelia Lukman mengamati pengaruh dari faktor eksternal, terutama sentimen arah suku bunga acuan The Fed yang juga berimplikasi terhadap nilai tukar rupiah. Dari domestik, investor tampak masih wait and see menanti kebijakan fiskal pemerintahan baru.
Investor akan fokus pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang bakal dibacakan pada bulan Agustus mendatang. "Apabila RAPBN ini memperluas defisit fiskal akibat penambahan anggaran untuk program makan gratis, maka utang berpotensi meningkat dan ini akan kompleks terhadap tren pelanjutan depresiasi nilai tukar," ungkap Sarkia.
Selain faktor makro-ekonomi dan transisi pemerintahan, Sarkia menyoroti penerapan aturan papan pemantauan khusus dengan mekanisme Full Call Auction (FCA) yang kurang efisien. Belum usai sorotan soal FCA, otoritas bursa menambah polemik baru tentang perdagangan short selling.
Investment Consultant Reliance Sekuritas Indonesia Reza Priyambada menambahkan, performa indeks saham akan ditentukan oleh persepsi dan kenyamanan investor dalam bertransaksi. Nah, kondisi saat ini mencerminkan posisi pasar saham Indonesia yang rentan sehingga mengurangi kenyamanan investor.
"Mau beli saham khawatir kena pemantauan khusus. Baru mau transaksi ada sentimen pelemahan rupiah. Mau tambah posisi, nanti ada sentimen negatif lain. Maka posisi yang rentan ini membuat tidak banyak pelaku pasar nyaman bertransaksi," kata Reza.
Baca Juga: IHSG Berpotensi Menguat Terbatas pada Jumat (28/6)
Ada Harapan di Semester II-2024
Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi menyoroti faktor makro-ekonomi, kebijakan moneter, tekanan rupiah dan pemangkasan rating membawa dampak terhadap persepsi pelaku pasar. Terutama bagi investor asing. Namun, Audi memandang peluang di pasar saham Indonesia masih menarik.
Secara valuasi, Audi menghitung saat ini IHSG sudah tergolong murah dengan rasio Price Earning (PE) 11,23 kali atau lebih rendah dari 10 tahun dan lima tahun terakhir, yang masing-masing berada di level 14,07 kali dan 14,61 kali. Bahkan dibandingkan dengan PE emerging market yang berada di level 14,23 kali.
Dus, Audi pun masih optimistis IHSG bisa menembus level 7.387 pada akhir tahun 2024, dengan estimasi pertumbuhan ekonomi akan di atas 4,9% dan inflasi terjaga di bawah 3%. "Kami melihat peluang IHSG masih menarik, terlebih jika dimulainya pemangkasan suku bunga acuan dari bank sentral dan tetap meyakini arus investasi asing akan kembali masuk," terang Audi.
Baca Juga: Wall Street Melemah Karena Investor Menunggu Data Inflasi
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani punya optimisme serupa, dimana performa IHSG akan membaik pada semester kedua. Dengan fundamental yang masih kuat, Arjun memproyeksikan di akhir tahun 2024 IHSG masih punya peluang mencapai kenaikan 4,15% dibandingkan posisi akhir tahun 2023.
Arjun mengingatkan, performa landai IHSG pada paruh pertama 2024 juga disebabkan oleh tekanan pada sejumlah saham big caps, akibat sentimen sektoral maupun sentimen yang menimpa masing-masing emiten. Dengan bobotnya yang besar, tekanan di saham big caps ini lantas menyeret turun IHSG.
Namun, tekanan IHSG berpotensi mereda. Arjun menaksir kurs rupiah tidak akan menembus level Rp 16.450 per dolar AS dan berpeluang mengalami apresiasi menjelang akhir tahun. Di sisi lain, sentimen dari pemangkasan rating sudah terbatas.
Arjun mengamati, syok pasar sudah terjadi saat Morgan Stanley melakukan pemangkasan rating. Sehingga saat HSBC ikut menurunkan peringkat pasar saham Indonesia, efeknya cenderung sudah terantisipasi.
Baca Juga: Menakar Nasib IHSG & Pasar Saham Indonesia Usai Rating Turun dan Jeblok di Kawasan
"Alasan untuk memangkas rating sebenarnya pelaku pasar sudah tahu, dan sadar tentang itu dari sebelumnya. Jadi kekhawatiran itu tidak fenomena baru dan seharusnya sudah ter-priced in oleh pasar," terang Arjun.
Senada, Hendra melihat peningkatan IHSG dua hari terakhir mencerminkan pemangkasan rating tidak otomatis berdampak negatif pada persepsi investor. IHSG yang kembali menguji level psikologis 7.000 mengindikasikan adanya faktor-faktor lain yang lebih dominan mempengaruhi sentimen pasar.
"Bisa jadi investor melihat adanya peluang di balik penurunan rating tersebut, atau ada faktor fundamental lain yang lebih positif seperti laporan keuangan perusahaan," kata Hendra.
Dalam posisi saat ini pelaku pasar bisa memanfaatkan momentum untuk mengoleksi saham yang undervalued dengan fundamental apik. Hendra melirik saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) target harga Rp 6.350-Rp 7.075, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) target Rp 4.780-Rp 5.275 dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) target Rp 6.250-Rp 6.600 per saham.
Baca Juga: IHSG Ditutup Naik 0,90% ke 6.967,9 Kamis (27/6), Top Gainers: BUKA, SRTG, MAPI
Sementara Reza menilai pelaku pasar bisa melakukan average buy bertahap untuk saham-saham yang sudah berada di area overbought. Namun cermati volume trading-nya sebelum memutuskan untuk masuk.
Sedangkan Sarkia menyarankan untuk melirik saham di sektor defensif seperti perbankan dan kesehatan. Sarkia mengingatkan, ketika pasar rebound, investor asing akan terlebih dulu masuk ke saham-saham big bank.
Sehingga untuk jangka pendek, bisa mencermati peluang buy on weakness pada saham big bank. Pelaku pasar bisa memperhatikan BMRI dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Sedangkan untuk sektor kesehatan bisa melirik saham rumah sakit seperti PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL), PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) dan PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News