Reporter: Yuwono Triatmodjo,Diade Riva Nugrahani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Industri reksadana kembali mengalami cobaan berat. Salah satu penyebabnya adalah penurunan indeks yang sangat drastis dalam kurun waktu sepekan. Jumat dua pekan lalu (5/9), indeks masih berada di level 2.022,56. Namun pada Jumat lalu (12/9), indeks telah anjlok sebesar 10,80% ke level 1.804,06.
Bersama luruhnya indeks, total Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana pun ikut longsor. Pada awal pekan lalu total NAB reksadana masih sebesar Rp 89,18 triliun. Sedangkan pada akhir pekan lalu, nilainya luruh lagi menjadi Rp 83,18 triliun atau turun 6,73%. Penurunan terbesar terjadi pada reksadana pendapatan tetap yang mencatatkan net redemption sebesar Rp 400,14 miliar.
Hal ini mungkin pantas dimaklumi, lantaran dalam kurun waktu yang sama, indeks harga rata-rata obligasi negara mencatatkan penurunan sebesar 3,51% menjadi 83,09. Ironisnya, industri perbankan justru menaikkan suku bunga deposito akibat ketatnya likuiditas. Sampai disini, investor tak lagi melihat daya tarik dalam menginvestasikan dana pada reksadana yang berbasis obligasi. Sebaliknya, suku bunga deposito yang tinggi terlihat lebih seksi bagi investor. "Bunga deposito yang tinggi membuat mereka mengalihkan dananya dari pendapatan tetap," ujar Direktur Panin Sekuritas Winston Sual.
Dengan adanya kondisi itu, mau tidak mau, reksadana pasar uang juga terkena imbasnya. Hal ini dikarenakan produk ini juga menginvestasikan sebagian dananya pada instrumen surat utang yang jangka waktunya kurang dari satu tahun. Walhasil, dalam sepekan lalu, terjadi net redemption sebesar 366,27 miliar.
Ketua Asosiasi Pengelola Reksa Dana indonesia (APRDI) Abi Prayadi mengatakan redemption yang terjadi saat ini masih terbilang wajar. "Bila NAB turun, itu lebih karena penurunan indeks, bukan karena redemption saja," ujar Abi, di Jakarta, hari iniĀ (15/9).
Investor lirik reksadana saham
Namun tidak selamanya kondisi ini berdampak negatif bagi seluruh jenis produk reksadana. Reksadana saham justru membukukan net subscription sebesar Rp 109,79 miliar. Jumlah ini memang tidaklah besar. Namun, investor sadar indeks telah terkoreksi sangat dalam dan reksadana berbasis saham menjanjikan keuntungan yang cukup lumayan.
Sekadar gambaran, sehari setelah indeks melemah hingga menembus level 2.000 pada hari Selasa lalu (9/9), reksadana saham besutan PT Fortis Investments, yaitu Fortis Ekuitas justru mencatatkan net subscribtion sebesar Rp 9,65 miliar. Hal yang sama juga terjadi pada produk PT Schroders Investment management Indonesia, Schroders Dana Prestasi Plus mencatatkan net subscription sebesar Rp 1,97 triliun.
Kondisi ini menurut Winston cukup beralasan lantaran harga saham-saham komoditas masih terus tertekan. "Reksadana saham memang akan sangat menarik untuk dikoleksi," ujarnya. Alasannya sederhana saja. Pada saat harga saham sedang turun, maka investor tergerak untuk masuk membeli saham-saham yang harganya sedang terdiskon.
Senada dengan Winston, Direktur PT PNM Investment Management, Wawan Dewanto melihat kondisi indeks saat ini sudah sangat rendah. "Ada baiknya investor mulai masuk perlahan-lahan ke produk yang berbasis saham," ujar Wawan.
PNM pun kini tengah menanti efektif reksadana saham konvensional mereka yang bertajuk PNM Ekuitas Emas dari Bapepam-LK. Saat ini, PNM telah memiliki reksadana saham yang berlabel syariah. "Minat masyarakat kini sedang baik, kami harap produk tersebut segera mendapat izin efektif," tegas Wawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News