Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
Adapun, Sucorinvest sendiri saat ini menitikberatkan preferensinya pada saham ketimbang obligasi.
"Soalnya, pasar obligasi sangat bergantung pada nilai tukar rupiah dan jumlah investor asingnya lebih besar sehingga rawan koreksi. Meski secara yield, spread saat ini antara yield SUN acuan 10 tahun dengan US Treasury sudah sangat menarik, mencapai 650 basis poin," tutur Jemmy.
Kendati optimistis pada saham, Jemmy memiliki beberapa pertimbangan. Pertama, ia memilih overweight pada sektor komoditas, salah satunya saham ANTM.
"Kami yakin harga komoditas nikel masih akan terus naik hingga US$ 16.000 - US$ 18.000 per metrik ton. Tahun depan, ANTM bisa trading di level PE 16 kali," ungkap Jemmy.
Selain itu, ia juga mengunggulkan saham PTBA seiring dengan oulook bullish pada harga komoditas batubara dan rata-rata saham emiten sektor tersebut yang masih memiliki rasio PE di bawah 10 kali.
Di luar sektor komoditas, ia juga optimistis terhadap saham konsumer seperti UNVR, GGRM, dan HOKI serta prospeknya di tahun depan seiring tingginya konsumsi di tahun pemilu.
Kedua, ia juga memilih emiten yang memiliki balance sheet bersih dari nilai utang yang tinggi, terutama utang dalam denominasi dollar Amerika Serikat (AS).
Pasalnya, ia melihat kondisi nilai tukar rupiah masih akan tinggi dan sulit untuk bisa kembali ke bawah level Rp 14.000 ke depannya.
Ketiga, Jemmy juga menyarankan agar masuk ke emiten dengan profit margin double-digit. "Di tengah tren kenaikan suku bunga, emiten dengan profit margin yang besar lebih aman dalam hal menghadapi cost of fund yang tinggi," kata dia.
Dengan pertimbangan tersebut, Jemmy berharap investor juga bisa lebih yakin untuk melihat peluang pasar di pengujung September.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News