Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jelang penutupan kuartal ketiga tahun ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih bertengger di zona merah. Hari ini, Selasa (25/9), indeks kembali melemah 0,13% ke level 5.874.
Direktur Utama Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana, berpendapat, secara historis, penurunan pasar di kuartal ketiga merupakan sesuatu yang wajar.
"Kalau dilihat secara historikal, IHSG biasanya menyentuh level bottom di akhir September, tapi akan mulai naik lagi sampai kuartal pertama atau kuartal kedua tahun selanjutnya," ujar Jemmy, dalam acara Market Update Sucorinvest Asset Management, Selasa (25/9).
Jemmy menjelaskan, loyonya pasar di bulan September disebabkan oleh kurang berimbangnya new subscription alias suplai uang yang masuk ke pasar dengan kebutuhan atau new issuances seperti right issue, IPO, dan sebagainya di pasar saham.
"Tambah lagi, sekarang kondisi eksternal masih volatile dengan adanya perang dagang, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed, dan kurva yield US Treasury yang negatif saat ini," imbuh Jemmy.
Meski begitu, Jemmy mengatakan, kondisi saat ini sejatinya bagus untuk dimanfaatkan investor memasang posisi beli.
Pasalnya, ia cukup optimistis IHSG akan kembali bangkit hingga ke level 6.300 di akhir tahun nanti. Dengan begitu, ada kenaikan sekitar 5% yang bisa dinikmati investor dari posisi indeks saat ini.
Dus, Jemmy menyarankan investor tak buru-buru merealisasikan keuntungan di akhir tahun. Sebab, ia melihat indeks masih akan terbang lebih tinggi hingga April 2019 nanti.
"Kemungkinannya dua, kenaikan indeks akan mulai mereda di April 2019 karena pasar cenderung buy on rumors, sell on news terkait hasil Pilpres, atau justru makin naik lagi pasca hasil Pilpres keluar karena makin optimistis," kata Jemmy.
Hitungannya, investor berpeluang meraup return sekitar 16,2% jika mengakumulasi sejak September dan melakukan profit-taking sembilan bulan setelahnya atau sekitar akhir Juni 2019.
Ia juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2017, return indeks selalu positif bahkan kebanyakan dua digit pada periode akhir kuartal ketiga hingga kuartal kedua tahun berikutnya, kecuali tahun 2015
Adapun, Sucorinvest sendiri saat ini menitikberatkan preferensinya pada saham ketimbang obligasi.
"Soalnya, pasar obligasi sangat bergantung pada nilai tukar rupiah dan jumlah investor asingnya lebih besar sehingga rawan koreksi. Meski secara yield, spread saat ini antara yield SUN acuan 10 tahun dengan US Treasury sudah sangat menarik, mencapai 650 basis poin," tutur Jemmy.
Kendati optimistis pada saham, Jemmy memiliki beberapa pertimbangan. Pertama, ia memilih overweight pada sektor komoditas, salah satunya saham ANTM.
"Kami yakin harga komoditas nikel masih akan terus naik hingga US$ 16.000 - US$ 18.000 per metrik ton. Tahun depan, ANTM bisa trading di level PE 16 kali," ungkap Jemmy.
Selain itu, ia juga mengunggulkan saham PTBA seiring dengan oulook bullish pada harga komoditas batubara dan rata-rata saham emiten sektor tersebut yang masih memiliki rasio PE di bawah 10 kali.
Di luar sektor komoditas, ia juga optimistis terhadap saham konsumer seperti UNVR, GGRM, dan HOKI serta prospeknya di tahun depan seiring tingginya konsumsi di tahun pemilu.
Kedua, ia juga memilih emiten yang memiliki balance sheet bersih dari nilai utang yang tinggi, terutama utang dalam denominasi dollar Amerika Serikat (AS).
Pasalnya, ia melihat kondisi nilai tukar rupiah masih akan tinggi dan sulit untuk bisa kembali ke bawah level Rp 14.000 ke depannya.
Ketiga, Jemmy juga menyarankan agar masuk ke emiten dengan profit margin double-digit. "Di tengah tren kenaikan suku bunga, emiten dengan profit margin yang besar lebih aman dalam hal menghadapi cost of fund yang tinggi," kata dia.
Dengan pertimbangan tersebut, Jemmy berharap investor juga bisa lebih yakin untuk melihat peluang pasar di pengujung September.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News