Reporter: Rashif Usman | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles hingga 6,12% atau 395,86 poin ke level 6.076,08 hingga perdagangan sesi I, Selasa (18/3).
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga sebelumnya telah melakukan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) mulai pukul 11:19 hingga 11;49 WIB, seiring dengan turunnya indeks pada perdagangan Selasa (18/3).
Ini menjadi yang pertama kali setelah sebelumnya IHSG terkena trading halt pada awal pandemi atau Maret 2020 lalu.
Ekonom Panin Sekuritas Felix Darmawan menjelaskan, pelemahan IHSG masih didominasi oleh sentimen negatif dari dalam negeri, karena indeks regional dan global masih berada di zona hijau.
Baca Juga: Analis dari Singapura Ini Ungkap Penyebab IHSG Rontok pada Selasa (18/3)
Felix merinci terdapat berbagai faktor yang menyebabkan tekanan terhadap indeks.
Pertama, penurunan penerimaan negara yang memperbesar defisit anggaran serta kebutuhan pembiayaan yang lebih besar. Kedua, pelaku pasar masih bersikap wait and see terhadap kebijakan Danantara dan Makan Bergizi Gratis (MGB) di tengah proses realokasi anggaran.
Ketiga, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) juga mengalami penurunan, yang disebabkan kondisi ketenagakerjaan yang suram belakangan ini.
"Situasi ini turut mendorong sejumlah analis asing, seperti Goldman Sachs, JP Morgan, dan Morgan Stanley, untuk menurunkan peringkat saham Indonesia," kata Felix kepada Kontan, Selasa (18/3).
Keempat, ada sentimen pemangkasan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 dari 5,2% menjadi 4,9% oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Baca Juga: Anjlok 5% Lebih, IHSG Kena Trading Halt! Apa Itu Trading Halt yang Diterapkan BEI?
Sementara itu, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus menilai anjloknya IHSG disebabkan sejumlah sentimen dalam negeri, seperti nilai penerimaan Indonesia yang mengalami penurunan hingga 30%.
Kondisi ini mengakibatkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar sehingga membutuhkan penerbitan utang yang lebih besar dan membuat rupiah kian semakin melemah.
"Penerimaan pajak mengalami penurunan hingga 30.19% YoY, hanya Rp 269 triliun. Defisit APBN Rp 3,2 triliun per bulan 2 kemarin," kata Nico, kepada awak media, Selasa (18/3).
Tak hanya itu, belanja pemerintah juga turun 7%. Alhasil utang pun naik 44,77% pada Januari 2025.
Kemudian, tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) juga akan lebih sulit untuk mengalami penurunan.
Baca Juga: Risiko Fiskal
Nico bilang pelaku pasar khawatir bahwa risiko fiskal kian mengalami peningkatan di Indonesia. Ini membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil.
"Sehingga saham menjadi tidak menarik, dan mungkin obligasi menjadi pilihan setelah saham," ujarnya.
Tak hanya dari dalam negeri, sentimen luar negeri juga ikut memengaruhi pergerakan IHSG. Mulai dari, tensi geopolitik, pembalasan tarif dagang yang lebih besar dari Uni Eropa dan kekhawatiran resesi yang terjadi di Amerika Serikat.
Selanjutnya: Jadi Investor Smelter Alumina Bareng Glencore, Indika (INDY) Masuk ke IPO Nanshan
Menarik Dibaca: Jakarta Hujan Petir, Simak Ramalan Cuaca Malam Ini di Wilayah Jabodetabek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News