Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 2,13% atau 103,03 poin ke 4.945,79 pada akhir perdagangan Jumat (25/9). Meski menguat di hari terakhir, IHSG masih tercatat turun 2,24% dalam sepekan.
Hans Kwee, Direktur Anugerah Mega Investama memperkirakan, IHSG berpeluang menguat di awal pekan dan cenderung melemah di tengah sampai akhir pekan depan. "IHSG bergerak dengan level support di level 4.820 sampai 4.754 dan resistance di level 4.978 sampai 5.187 dengan kecenderungan melemah dalam sepekan ke depan," ungkap Hans dalam riset, Minggu (27/9).
Menurut Hans, beberapa sentimen yang mungkin mempengaruhi pergerakan IHSG pada pekan kelima September 2020 adalah:
1. Pasar keuangan dunia mendapatkan sentimen negatif dari perkembangan paket stimulus fiskal untuk mengatasi dampak pandemi Covid 19. Dikabarkan Partai Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (AS) sedang menyiapkan rencana paket stimulus virus corona senilai US$ 2,2 triliun.
Diharapkan paket ini bisa divoting pada pekan depan. Paket ini menjadi sangat penting untuk membantu AS keluar dari resesi. Di tengah peningkatan kasus covid-19 dan rencana penguncian kembali membuat pemulihan ekonomi akan terganggu maka stimulus fiskal sangat dibutuhkan.
Pejabat Federal Reserve pekan lalu berbicara tentang pentingnya lebih banyak stimulus fiskal karena kebijakan moneter terbatas efektivitasnya dalam memulihkan perekonomian. Pernyataan ini menurunkan kredibilitas The Fed tetapi mendorong pemerintah dan parlemen segera meloloskan stimulus fiskal baru untuk mengatasi dampak covid-19.
Baca Juga: Pelemahan kurs rupiah diprediksi masih berlanjut hingga pekan depan
2. Pasar keuangan juga menghadapi ketidakpastian politik AS menjelang pemilu di bulan November. Dikabarkan Presiden Donald Trump menolak berkomitmen untuk transfer kekuasaan secara damai jika dia kalah dalam pilpres. Hal ini membuat sangat mungkin hasil pemilu disengketakan.
Partai Republik membantah penolakan Presiden Donald Trump untuk berkomitmen pada transfer kekuasaan secara damai bila Trump kalah dalam pemilu November. Hal ini telah membuat indeks dolar menguat dan memperlemah nilai tukar rupiah. Selain itu tensi politik yang memanas menjelang pemilu AS membuat sulit ditemukan titik temu pembahasan paket stimulus fiskal yang dinantikan pelaku pasar.
3. Data ekonomi AS cenderung bervariasi tetapi menunjukkan tanda-tanda perlambatan pemulihan. Klaim pengangguran yang berakhir 19 September tercatat 870.000 orang, lebih banyak dari perkiraan ekonom di level 840.000 orang dan lebih tinggi dari pekan sebelumnya 866.000 orang.
Sedangkan angka klaim pengangguran berlanjutan menurun menjadi 12,58 juta dari sebelumnya 12,75 juta tetapi lebih jelek dari konsensus pasar di level 12,30 juta. Kedua angka ini dianggap mengecewakan dan mengindikasikan pemulihan ekonomi AS terhenti. Di sisi lain Kongres belum mampu menelurkan paket stimulus fiskal baru untuk membantu pemulihan ekonomi akibat pandemik covid-19.
Baca Juga: Kapitalisasi di pasar bursa selama sepekan menciut 2,15% atau Rp 126,53 triliun
4.Peningkatan kasus covid-19 terjadi di banyak negara. Di AS terjadi peningkatan kasus di Midwest. Prancis dan Inggris mencatat rekor kasus baru infeksi covid-19 secara harian pada hari Kamis pekan lalu. Inggris melaporkan tambahan 1.252 kasus baru dalam sehari menjadi 6.178 kasus.
Timbul kekhawatiran gelombang kedua covid 19 terjadi di beberapa negara Eropa telah mendorong beberapa negara seperti Inggris, Jerman dan Prancis melakukan pembatasan baru. Pemerintah Spanyol merekomendasikan penerapan lockdown di kota Madrid setelah kasus melampaui 700.000 dan merupakan tertinggi di negara kawasan Eropa Barat. Rencana lockdown ditambah dukungan fiskal yang lebih sedikit serta likuiditas yang berkurang akan membebani kinerja kuartal ke empat berbagai negara.
5. Chairman The Fed Chicago, Charles Evans mengatakan pelonggaran kuantitatif lebih lanjut mungkin tidak memberikan dorongan tambahan untuk ekonomi AS. Artinya belum ada tambahan stimulus moneter dari bank sentral untuk mendorong ekonomi keluar dari resesi. Charles juga mengisyaratkan bahwa mungkin saja The Fed menaikkan suku bunga sebelum inflasi mulai mencapai rata-rata 2%. Hal ini membuat arus dana balik ke AS dan membuat dolar cenderung naik dan membuat rupiah cenderung melemah.
Baca Juga: Ini penyebab IHSG melemah 2,24% dalam sepekan