Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih berlangsung hingga saat ini. Keduanya belum menemukan kesepakatan dagang sejak mengundurkan tenggat waktu 1 Maret menjadi 27 Maret. Tak hayal harga komoditas timah yang menjadi komoditas langganan China melemah.
Mengutip Bloomberg pada Senin (4/3) harga timah di London Metal Exchange untuk pengiriman Maret 2019 terkoreksi 0,79% menjadi US$ 21.519 per metrik ton dari US$ 21.692 per metrik ton di akhir pekan lalu.
Analis Asia Trade Points Futures Cahyo Dewanto menilai ekspektasi perang dagang yang harusnya selesai pada awal Maret membuat pasar kecewa. Ekonomi China pun melemah di tengah konflik dagang dengan AS.
China pasalnya menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya menjadi 6%-6,5% di tahun ini. Selain itu, kata Cahyo pelemahan harga timah dipicu oleh melemahnya data Caixin Service Purchasing Manager Index (PMI) sebagai indikator manufaktur China.
“Ini sesuai dengan perkembangan terakhir bahwa pabrik-pabrik di China saat ini sedang lesu,” kata Cahyo kepada Kontan.co.id, Selasa (5/3).
Secara berkesinambungan akan berdampak pada permintaan bahan baku timah di China seperti industri otomotif, seluler, dan lain-lain.
Cahyo berpendapat semestinya harga timah masih terus naik seiring dengan kemajuan perundingan dagang yang mendekati tenggat waktu. Tetapi karena terus diundur dan ekonomi Negeri Tirai Bambu melemah maka harga timah jadi korban.
Di sisi lain, China nampaknya mulai terbuka untuk menurunkan tarif impor produk pertanian dan mobil untuk AS. Tetapi, para pengusaha China mewaspadai kegagalan perundingan bisa terjadi sewaktu-waktu yang membuat harga timah bergerak melamban, bahkan bisa terkoreksi, sampai dengan 27 Maret mendatang.
Sentimen komoditas logam ini tak terlepas dari dalam negeri. Isu tambang ilagal di Bangka Belitung banyak meninggalkan lubang bekas galian. Saat ini pemerintah setempat belum menggalakan penanaman sorgum. Tetapi pasalnya pemerintah menggandeng Jerman untuk reklamasi lahan.
Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) kemarin telah merilis Pusat Logistit Berikat (PLB) timah di Bangka Belitung yang menargetkan mampu menyimpan fisik timah hingga 6.000 ton per bulan.
PLB timah tersebut mampu menggantikan penyimpanan timah siap ekspor yang sebelumnya menggunakkan PLB di Singapura. Jika ICDX bisa memfasilitasi PLB di Indonesia maka devisa negara bisa masuk kembali ke Indonesia.
“Ini akan mempengaruhi kepastian hukum dari timah yang akan di ekspor,” tutur Cahyo.
Ia menambahkan pelaku pasar timah global akan merasa lebih aman dan nyaman dari segi logistik. PLB timah katanya dapat menstimulus kenaikan harga timah seiring dengan jaminan keamanan dan legalitas tersebut.
Secara teknikal ia melihat indikator relative strength index (RSI) 14 terpantau netral. Sejalan indikator moving average (MA) 10 dan MA 20 mengindikasikan sell, tetapi MA 50 masih buy. Indikator commoditiy channek index (CCI) bergerak di area jenuh yang terindikasi sell.
Cahyo merekomendasikan sell timah dalam jangka pendek. Tetapi secara jangka panjang masih bullish, sebab penurunan harga timah hanya sementara.
Ia memprediksi timah dalam LME pada Rabu (6/3) akan bergerak di kisaran US$ 21.400-US$ 21.450 per metrik ton. Sementara dalam sepekan ke depan di area US$ 21.300-US$ 21.600 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News