Sumber: CNBC | Editor: Uji Agung Santosa
NEW YORK. Harga minyak mentah melonjak 4% pada perdagangan Kamis (5/2). Lonjakan harga minyak dipicu prediksi turunnya output produksi karena meningkatnya kekerasan di Libia dan pelonggaran kebijakan moneter Bank Sentral China.
Harga minyak mentah berjangka AS, atau dikenal dengan WTI ditutup US$ 2,03 lebih tinggi menjadi US$ 50,48 per barel. Sementara patokan minyak mentah Brent naik US$ 2,20, atau 4% menjadi US$ 56 per barel. Pada perdagangan Rabu lalu, minyak mentah Brent turun hampir 7%.
Pedagang dan analis, seperti dikutip dari CNBC memperkirakan, fluktuasi harga minyak mentah akan naik dibandingkan seperti biasanya. Sebab, hanya minyak akan berusaha menemukan tingkat kestabilan dan dasar baru setelah adanya aksi jual selama tujuh bulan terakhir sehingga harga minyak mendekati posisi terendah dalam enam tahun.
Namun banyak juga yang pesimis akan adanya reli harga minyak berkelanjutan ke depan. Hal itu disebabkan karena tingginya persediaan minyak mentah AS, yang memicu kekhawatiran akan pasokan minyak yang berlimpah.
"Saat ini minyak ada dalam rentang perdagangan, dan harga minyak akan ada koreksi ke atas dari waktu ke waktu," kata John Kilduff, analis hedge fund Again Capital yang menangani energi.
Walau begitu, menurut John, harga minyak secara keseluruhan masih akan lebih rendah karena pasokan yang banyak.
Rebound harga minyak pada Kamis lalu, salah satunya dipicu oleh prediksi penurunan produksi minyak mentah Libia. Hal itu disebabkan karena adanya serangan di sebuah ladang minyak oleh kelompok bersenjata. Ditambah dengan adanya serangan terhadap sebuah kapal tanker di Nigeria.
Selain itu, kebijakan Bank Sentral China yang memotong syarat cadangan dana perbankan atau GWM memberikan angin segar likuiditas sehingga ada optimisme peningkatan permintaan minyak mentah dari China.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News