kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Harga minyak mentah kian tergerus masih karena perang dagang


Senin, 05 November 2018 / 21:16 WIB
Harga minyak mentah kian tergerus masih karena perang dagang
ILUSTRASI. Harga minyak


Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga minyak mentah dunia terus mengalami kemerosotan. Selain diberlakukannya sanksi ekspor ke Iran oleh Amerika, pengaruh perekonomian globa dan perang dagang juga berdampak akan permintaan minyak mentah dunia.

Mengutip bloomberg, Senin (5/11), harga West Texas Intermediate (WTI) di pasar Nymex untuk pengiriman November 2018, tercatat turun 0,74% menjadi US$ 62,65 per barel. Dalam sepekan harga minyak pun harus turun 6,5%.

Analis Asia Tradepoint Futures, Deddy Yusuf Siregar menilai penurunan harga minyak mentah saat ini memang bukan suatu hal yang mengejutkan lagi. Pasalnya para produsen minyak dunia memang tengah mengerek produksi minyaknya. Itulah yang membuat harga minyak tertekan saat ini.

“Selain itu keringanan sanksi ekspor kepada Iran juga berperan akan turunnya harga minyak. Dimana AS memberikan keleluasaan kepada delapan negara importir untuk tetap melakukan impor minyak dari Iran,” ungkapnya kepada KONTAN, Senin (5/11).

Ketiga negara produsen minyak mentah dunia terbesar yaitu Rusia, Arab Saudi dan Amerika Serikat pun dapat dengan bebasnya mengekspor minyak ke beberapa negara seperti Korea Selatan, Jepang, China dan India. Ia mencatat tiga negara ini pun meraup keuntungan dengan harga minyak yang sudah berada di atas level US$ 60 per barel.

Jika dilihat dari produksinya, Deddy mencatat produksi Amerika Serikat pada Agustus 2018 saja sudah mencapai 11,34 juta barel per hari. Dus, produksi Arab Saudi pada September 2018 mencapai 10,5 juta barel per hari.

Terakhir Rusia produksinya mencapai 11,1 juta barel per hari. “Dengan melimpahnya pasokan minyak bisa jadi sentimen negatif akan harga minyak mentah dunia. Karena permintaan yang sebelumnya berkisar 1,4 juta sampai 1,5 juta barel per hari, jadi meningkat karena melimpahnya minyak mentah saat ini,” pungkasnya.

Lemahnya harga minyak dunia juga dikatakan Deddy tak lepas dari persoalan perang dagang Amerika Serikat dan China. Beberapa pekan lalu sempat terhembus kabar bahwa Presiden Trump akan melakukan pertemuan dengan Presiden China, Xi Jinping.

Namun, kabar tersebut rupanya hanya rumor dan persoalan perang dagang ini pun masih menjadi polemik yang turut melemahkan harga minyak. "Karena dua negara ini juga memproduksi minyak, dan sama-sama negara kuat untuk mengimpor minyak ke beberapa negara di dunia. Sehingga dengan perang dagang tersebut, bisa mengkhawatirkan para pelaku pasar," ucap Deddy.

Kendati demikian, naiknya harga minyak mentah dunia ini justru menjadi keuntungan bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya RUU APBN menetapkan harga minyak rata-rata US$ 70 per barel. Deddy mengatakan jika harga minyak terus dibawah US$ 60 per barel maka ini akan menguntungkan Pemerintah. “Bisa saja, tahun depan semakin turun, dan Pemerintah tidak perlu menaikkan harga minyak non subsidi lagi,” tuturnya.

Senada dengan Deddy, Direktur Garuda Berjangka Ibrahim juga menuturkan bahwa turunnya harga minyak menjadi berkah bagi Pemerintah Indonesia. Sebab, ia bilang Pemerintah tidak mengatur anggaran untuk harga minyak non subsidi lagi.

Disisi lain, Ibrahim menjelaskan naiknya harga minyak justru menjadi pengaruh yang mengkhawatirkan. Yang membuat harga minyak naik, tak lepas karena perekonomian global yang melambat, juga perang dagang yang tak menentu kejelasannya.

“Kalau dilihat rupiah memang kembali menguat hari ini, itu jadi sentimen positif, tetapi perekonomian Tiongkok yang melemah hingga 6,5% bisa menjadi indikator perekonomian global juga ikut terseret. Apalagi The Fed masih akan menaikkan suku bunga,” tandasnya.

Maka itu, Ibrahim pun menerangkan bahwa lemahnya perekonomian global jelas akan membuat permintaan minyak pun menurun. Sementara produksi minyak dunia yang kini meningkat akan menjadi boomerang. Dengan begitu, bukan hal yang tak mungkin jika harga minyak pun ikut terseret. Ibrahim pun memproyeksi harga minyak sepekan akan cenderung melemah dengan rentang US$ 61,50 per barel hingga US$ 64,5 per barel.

Sementara akhir tahun, Ibrahim melihat harga minyak mentah dunia akan berada di rentang US$ 65 per barel. Faktor yang membuat harga sedikit naik adalah musim dingin pada periode November sampai Januari. Sehingga akan membuat beberapa negara menggunakan sedikit penggunaan minyak dan gas alam yang banyak.

Dus Deddy, memproyeksikan harga minyak sepekan ada berada di rentang US$ 64,40 per barel hingga US$ 61,30 per barel. Namun, secara teknikal, bila harga minyak akhir tahun diatas US$ 61 per barel maka ada potensi untuk rebound.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×