Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak diprediksi akan melemah hingga akhir tahun 2024, dengan perlambatan ekonomi di China menjadi faktor utama penyebabnya.
Berdasarkan data Trading Economics pada Kamis (25/7) pukul 13.01 WIB, harga minyak WTI berada di angka US$ 76,99 per barel, turun 5,27% dalam sepekan. Sementara itu, minyak Brent tercatat di US$ 81,07 per barel, merosot 4,7% dalam sepekan.
Analis Finex Bisnis Solusi Future, Brahmantya Himawan, menjelaskan bahwa pelemahan harga ini disebabkan oleh lemahnya permintaan dari China, yang merupakan importir minyak terbesar kedua di dunia. Selain itu, kondisi ini juga didorong oleh adanya gencatan senjata yang dapat memberikan stabilitas pada harga minyak di masa depan.
Menurut data pemerintah China, permintaan minyak tahun ini diprediksi akan lebih rendah dibandingkan tahun 2023. Hal ini disebabkan oleh permintaan bahan bakar yang lebih rendah untuk industri serta pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Baca Juga: Harga Minyak Jatuh, Imbas Kekhawatiran Lemahnya permintaan China
"Jika permintaan yang kurang bergairah dan potensi gencatan senjata terjadi, maka harga minyak akan kembali menuju support pada kisaran US$ 73 - US$ 72 per barel," ujar Brahmantya kepada Kontan.co.id, Kamis (25/7).
Brahmantya menambahkan bahwa prospek harga minyak sangat bergantung pada permintaan. Jika tidak ada perkembangan signifikan dari Amerika Serikat (AS) dan China, harga minyak berpotensi turun atau stabil hingga akhir tahun ini.
"Minyak WTI berpotensi berada di kisaran US$ 70 - US$ 72 per barel," tambahnya.
Pengamat Komoditas dan Mata Uang, Lukman Leong, juga berpendapat serupa, menyatakan bahwa tren harga minyak akan melandai. Menurutnya, permintaan dan pasokan akan melandai pada kuartal IV 2024 dan akan terjadi surplus pada tahun 2025.
Baca Juga: Harga Minyak Terkoreksi Tipis Pada Kamis (25/7) Pagi
Ia menilai harga minyak saat ini sulit untuk rebound karena investor juga mengkhawatirkan perkembangan situasi politik di AS. Kedua kandidat Presiden AS diperkirakan akan "all out" menggunakan taktik perang dagang dengan China.
"Terutama apabila Trump menang, maka dikhawatirkan tensi dagang dengan China akan lebih berat," jelas Lukman.
Oleh sebab itu, Lukman berpendapat harga minyak sulit untuk kembali ke US$ 80 per barel. Namun, potensi itu masih ada jika OPEC+ kembali memangkas produksi. Jika tidak, ia memperkirakan harga minyak akan berkisar di US$ 70 per barel pada akhir tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News