Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga komoditas energi tengah keok terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi tersebut diperkirakan masih akan berlanjut dalam beberapa waktu ke depan, meski harga komoditas energi masih menunjukkan tren reflationary trade, yakni kondisi pasar ketika inflasi mulai naik setelah posisi rendah yang cukup lama.
Mengutip Bloomberg, harga minyak mentah yang kerap dijadikan acuan harga komoditas energi, sempat melorot ke level US$ 36,90 per barel untuk jenis WTI pada perdagangan Selasa (8/9). Untungnya, pada perdagangan Rabu (9/9) harga tampak mulai kembali menanjak ke level US$ 37,54 per barel pada pukul 17.27 WIB.
Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, aksi jual di pasar telah memperburuk kekhawatiran atas pelemahan permintaan akan komoditas energi, khususnya minyak. Ini terjadi lantaran musim panas berlangsung cukup lama.
Sementara itu, Arab Saudi juga memangkas harga penjualan minyak pada Oktober 2020. Itu sekaligus sinyal dari eksportir minyak terbesar di dunia bahwa permintaan bahan bakar tengah goyah ditambah gejolak Covid-19.
Baca Juga: Efek penurunan harga minyak bagi emiten masih kalah dari efek corona
"Secara bersamaan, komoditas secara umum termasuk emas dan mata uang utama juga melemah terhadap dolar AS, seiring koreksi signifikan pada bursa saham AS," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Rabu (9/9).
Menurut Wahyu, kondisi saat ini cukup wajar terjadi mengingat sebelumnya bursa AS sempat berada di level yang cukup tinggi. Di samping itu, harga emas saat ini juga sudah overbought.
Di sisi lain, harga minyak masih berjuang untuk bisa kembali menembus level di atas US$ 40 per barel lantaran harganya yang sudah overbought. Untuk itu, sudah jadi hal yang wajar jika harga komoditas umum seperti minyak, gas dan batubara turun.
Baca Juga: Tekanan berlanjut, komoditas energi diramal baru bisa rebound di tahun depan
Ke depan, Wahyu menilai harga komoditas energi masuk ke dalam tren reflationary trade, dimana investor cenderung mengejar aset yang berhubungan dengan pertumbuhan dan inflasi seperti saham, komoditas dan juga emas.
"Pelemahan saat ini bersifat korektif konsolidasi. Sehingga nanti harganya akan mencoba rebound kembali, apalagi outlooknya masih berpotensi rebound hingga tahun depan," ujar Wahyu.
Untuk jangka menengah, Wahyu memperkirakan harga minyak akan berada di area US$ 30 per barel hingga US$ 50 per barel, sedangkan untuk gas alam di kisaran US$ 1,5 per mmbtu hingga US$ 3,5 per mmbtu. Adapun untuk batubara diperkirakan berada di kisaran US$ 40 per ton hingga US$ 70 per ton.
Baca Juga: Penurunan harga minyak bisa menguntungkan sejumlah emiten ini, tapi...
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News