Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) berpotensi didukung naiknya patokan Harga Gas Bumi Tertentu. Naiknya harga gas murah atau HGBT itu dapat mendorong profitabilitas PGAS.
Research Analyst Phintraco Sekuritas Muhamad Heru Mustofa menilai, prospek kinerja PGAS masih cukup positif di tahun 2025. Proyeksi ini seiring dengan permintaan dan harga gas alam yang diperkirakan pulih secara bertahap.
Dalam beberapa waktu terakhir, harga gas alam global naik seiring dengan meningkatnya ekspor Liquefied Natural Gas (LNG), di tengah produksi yang rendah dan perkiraan cuaca yang lebih dingin di beberapa tempat produksi gas. Kondisi ini dapat mengganggu aktivitas produksi yang pada gilirannya dapat mengerek harga gas alam.
"Kondisi tersebut berpotensi meningkatkan harga gas alam dunia dalam beberapa waktu kedepan. Potensi kenaikan harga gas alam dunia ini dapat mendorong kinerja keuangan PGAS di kuartal I-2025," ujar Heru kepada Kontan.co.id, Senin (17/2).
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Pilihan dari Analis untuk Perdagangan Senin (17/2)
Heru menambahkan, prospek kinerja PGAS akan dipengaruhi pula kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Pemerintah telah memutuskan kebijakan HGBT diperpanjang hingga akhir 2025, memberikan kejelasan bagi industri.
Dia menjelaskan, kebijakan HGBT dapat menjaga volume penjualan gas milik PGAS. Namun di sisi lain, kebijakan HGBT juga berpotensi menekan profitabilitas, mengingat harga gas HGBT ditetapkan lebih rendah dari harga pasar.
"Jika tidak ada mekanisme subsidi atau kompensasi yang jelas dari pemerintah, maka profitabilitas PGAS bisa terdampak," sebut Heru.
Menurut Heru, kenaikan patokan harga HGBT dapat mendorong profitabilitas Perusahaan Gas Negara (PGN), sekalipun harga masih di bawah harga pasar. Pemerintah dikabarkan bakal mengerek harga insentif gas ini menjadi US$ 6,5 per Mmbtu dari sebelumnya US$ 6 Mmbtu untuk tujuh sektor industri.
Di samping itu, Heru menilai positif PGAS sejalan dengan proyek-proyek terus dikembangkan seperti Pipa Gas Tegal – Cilapap. Proyek tersebut dapat memperluas cakupan distribusi gas di Jawa Tengah serta meningkatkan pangsa pasar PGAS.
"Proyek pipa gas Tegal-Cilacap memperkuat prospek jangka panjang PGAS sebagai pemain utama dalam distributor gas di Indonesia," imbuhnya.
Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta menjelaskan, dampak potensial bagi PGAS adanya distribusi gas dijual dengan harga Non-HGBT atau normal yaitu spread distribusi gas dapat meningkat. Dengan begitu, maka laba bersih PGAS dapat bertumbuh lebih baik.
Bila HGBT berakhir, pelanggan lama yang berhak atas harga HGBT sekitar US$ 6-7 per mmbtu, sekarang harus membeli gas pipa dengan harga normal yakni US$9-10 per mmbtu. Dan jika mereka meminta kuota tambahan di atas kuota yang ditetapkan, pelanggan tersebut bahkan mungkin harus membayar hingga US$16-17 per mmbtu dengan membeli LNG.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Teknikal Saham UNTR, BRMS dan PGAS untuk Kamis (13/2)
Sejauh ini, masih belum jelas terkait program gas murah melalui HGBT secara menyeluruh atau ada kemungkinan penerapan parsial. Meskipun akhirnya kebijakan HGBT diperpanjang, penundaan perpanjangan HGBT di awal tahun ini kemungkinan mendorong kinerja PGAS di kuartal I-2025.
Selain itu, Ryan menyoroti bahwa saham PGAS tetap menarik sebagai opsi defensif di tengah lingkungan dolar yang lebih kuat dan Rupiah yang lebih lemah dengan imbal hasil dividen hingga sekitar 8%.
"Kami lebih memilih PGAS dalam jangka pendek, karena imbal hasil dividennya yang menarik dan potensi kuartal I-2025 yang kuat dibandingkan perusahaan lain di sektor migas," ungkap Ryan dalam riset 11 Februari 2025.
Secara umum, Ryan memandang bahwa permintaan minyak global menunjukkan permintaan yang lemah. Salah satu indikator utama permintaan adalah ekspor minyak mentah OPEC+ pada Januari 2025, yang lebih rendah secara bulanan dan tahunan sekitar 26 juta barel per hari dibandingkan tiga tahun terakhir.
"Data perdagangan tersebut menunjukkan permintaan kemungkinan akan lemah, yang akan membatasi kenaikan harga minyak mentah dalam jangka pendek hingga menengah," tuturnya.
Sementara itu, Ryan mengamati bahwa penghentian pemangkasan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari atau sekitar 2% dari pasokan global oleh organisasi negara pengekspor minyak dan sekutu (OPEC+) tidak mungkin dilakukan. Seperti diketahui, delapan anggota OPEC+ berencana secara bertahap menghentikan pemangkasan sukarela mulai 1 April.
Indo Premier Sekuritas melihat kemungkinan besar pemangkasan sukarela ini akan diperpanjang hingga sisa tahun anggaran 2025, karena permintaan minyak global yang lemah. Meskipun demikian, keputusan 8 negara OPEC+ tersebut dapat menjadi hambatan terutama menjelang 1 April 2025.
Menurut Ryan, harga minyak mentah mungkin bergerak terbatas dalam jangka pendek karena harga minyak mentah global sudah naik tinggi di awal tahun ini. Lonjakan harga di awal tahun 2025 seiring sanksi AS terhadap minyak Rusia yang telah berkolerasi pada naiknya harga saham emiten migas.
Dengan berbagai faktor tersebut, Ryan mempertahankan rekomendasi buy untuk PGAS dengan target harga sebesar Rp 1.500 per saham. Sedangkan, Heru merekomendasikan trading buy untuk PGAS dengan target harga Rp 1.900 per saham.
Selanjutnya: Hyundai Kembali Buka Akses Charging Station Berlangganan,Harga Mulai Rp170 Ribu/Bulan
Menarik Dibaca: Tips Aman Lakukan Pembayaran via QRIS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News