Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Harga emas berhasil berbalik menguat alias rebound. Namun, pergerakan tersebut bersifat terbatas. Sebab, katalis negatif masih membalut si kuning mengkilap.
Mengutip Bloomberg, Selasa (21/7) pukul 16.01 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus 2015 di bursa Commodity Exchange tercatat naik tipis 0,07% menjadi US$ 1.107,60. Harga sempat menyentuh level terendah di US$ 1.106,80, level terendah dalam kurun lima tahun terakhir. Sepekan, harga anjlok 3,97%.
Agus Chandra, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures menekankan, rebound harga emas tersebut hanya sesaat akibat para pelaku pasar yang menjalankan aksi bargain hunting. Sebenarnya, harga emas masih berbalut tren bearish (turun).
Harga emas dibayangi penguatan indeks dollar Amerika Serikat akibat pernyataan Gubernur The Fed, Janet Yellen pada Rabu (15/7) malam. Yellen menyatakan bahwa mereka akan mengerek suku bunga acuan pada penghujung tahun 2015 yang didukung oleh perkembangan positif ekonomi Negeri Paman Sam.
Misalnya, rilis data AS yaitu Producer Price Index per Juni 2015 yang tercatat 0,4%, lebih baik ketimbang ekspektasi analis di posisi 0,2%. Ada pula data klaim pengangguran mereka yaitu Unemployment Claims per 12 Juli 2015 yang mencapai 281.000 orang, membaik ketimbang level sebelumnya di 296.000 orang.
“Hal ini membuat emas semakin mahal karena ditransaksikan dalam dollar AS,” ujarnya. Komoditas memang sedang melemah akibat aksi Yellen. Lihat saja indeks Bloomberg Commodity Index yang menyusut 1,4% ke level 96,2029, posisi terendah sejak tahun 2012.
Selain itu, kekhawatiran atas perlambatan ekonomi China juga turut menekan harga emas. Sebagai konsumen terbesar emas di dunia, kondisi China yang kurang menggembirakan turut menyeret permintaan si kuning.
Memang produk domestik bruto (GDP) Negeri Tirai Bambu per Juni 2015 tercatat 7%, sama dengan pencapaian bulan sebelumnya. Namun pihak Capital Economics Ltd menyatakan bahwa angka tersebut mungkin saja melebihi kondisi seharusnya sebanyak maksimal 2% akibat deflator GDP yang kurang akurat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News