Reporter: Handoyo | Editor: Edy Can
JAKARTA. Pelarangan penggunaan bahan bakar (BBM) subsidi bagi seluruh kegiatan bisnis perkebunan mulai 1 September 2012 diperkirakan bakal mengerek harga produk perkebunan, seperti minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Namun aturan ini juga membingungkan pengusaha. Maklum, selama ini transportasi produk perkebunan biasanya dikerjakan pihak kedua.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan, biaya logistik perkebunan sawit setidaknya menyumbang 10% sampai 15% terhadap harga minyak sawit. Dengan kebijakan pelarangan itu, diperkirakan harga CPO dan turunannya akan terkerek naik.
Masih membingungkan
Tidak hanya mengerek harga, menurut Fadhil, kebijakan itu akan susah dijalankan di lapangan. Sebab selama ini sarana transportasi yang digunakan oleh perusahaan di perkebunan sawit terbagi dua, yakni truk pengangkut milik perusahaan sendiri dan dari pihak kedua atau outsourcing. "Kebanyakan menggunakan sistem kontrak," katanya, Jumat (31/8).
Fadhil mempertanyakan, apakah kendaraan angkut outsourcing juga akan terkena aturan itu. Lalu, apakah jika pelanggaran dilakukan perusahaan outsourcing, hukuman akan jatuh ke perusahaan kebun. "Belum jelas bila terjadi pelanggaran nanti perusahaan perkebunan atau penyedia transportasi yang terkena hukuman," katanya.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan aturan tentang pengendalian penggunaan BBM. Aturan itu antara lain melarang mobil barang yang digunakan dalam kegiatan perkebunan dan pertambangan menggunakan solar bersubsidi mulai 1 September 2012.
Aturan ini dikecualikan bagi perusahaan kecil, seperti perusahaan pemegang izin pertambangan rakyat dan perkebunan perorangan dengan skala kurang dari 25 hektare (ha). Pemerintah akan menindak tegas bagi perusahaan yang melanggar dengan mencabut izin usaha perkebunan dan pertambangan.
Bagi perusahaan kebun sawit dan karet, PT Jaya Agra Wattie Tbk, aturan itu diakui tidak akan berpengaruh. "Selama ini operasional kami menggunakan BBM non subsidi," kata Bambang S. Ibrahim, Direktur Jaya Agra.
Bambang menambahkan, tiap tahun perusahaannya menganggarkan minimal Rp 10 miliar hanya untuk membeli BBM. Dia juga yakin aturan pembatasan BBM tidak akan mengganggu target produksi CPO dan karet perusahaannya di tahun ini.
Tahun ini, Jaya Agra memasang target kenaikan produksi CPO hingga sebesar 35,8%, menjadi 37.200 ton dari produksi tahun lalu 27.400 ton. Untuk karet naik menjadi 13.272 ton dari 10.575 ton di tahun lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News