Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah meningkatkan harga BBM subsidi. Harga Pertalite resmi naik menjadi Rp 10.000 per liter dari sebelumnya Rp 7.650 per liter. Sementara itu, harga solar subsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Helmy Kristanto menilai bahwa kenaikan harga BBM subsidi akan memberikan tiga dampak terhadap perekonomian. Pertama, peningkatan inflasi yang diproyeksikan naik 6,73% secara tahunan di bulan Oktober 2022.
Kedua, kenaikan inflasi tersebut akan memicu kebijakan moneter yang lebih ketat dengan ekspektasi kenaikan suku bunga di kisaran 75-100 basis poin (bps) tahun ini. Ketiga, dampak langsung pada daya beli masyarakat.
Baca Juga: Simak Prospek dan Rekomendasi Sejumlah Saham LQ45 yang Masih Undervalued
"Pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan moderat, masing-masing menjadi 5,05% dan 5,09% pada kuartal ketiga dan keempat 2022 dengan pertumbuhan PDB keseluruhan sebesar 5,1% pada tahun ini dibandingkan sebelumnya di 5,2%," tulis Helmy dalam riset, Senin (5/9).
Seiring kenaikan harga BBM subsidi, pemerintah juga memutuskan untuk memitigasi risikonya dengan memberikan bantuan sosial senilai Rp 24 triliun.
Dengan terdampaknya daya beli tersebut, Helmy memperkirakan sektor yang memiliki risiko sedang hingga tinggi antara lain otomotif, rokok, logistik, unggas, dan teknologi.
Baca Juga: Menguat 9,90% dari Awal Tahun, Bagaimana Valuasi IHSG Sekarang?
Kemudian, dengan inflasi yang lebih tinggi pula tentunya akan meningkatkan suku bunga. Sehingga, ia melihat sektor konstruksi memiliki risiko yang tinggi. Sementara sektor perbankan, properti, dan unggas memiliki risiko sedang.
Helmy juga memaparkan, faktor yang juga turut dicermati adalah volatilitas nilai tukar. "Tren pelemahan nilai tukar rupiah juga berdampak negatif terhadap kinerja keuangan bagi emiten yang bergantung pada impor bahan baku dari luar," paparnya.
Menurutnya, sektor yang terdampak dari volatilitas nilai tukar dan memiliki risiko paling tinggi adalah sektor farmasi dan unggas. Sementara sektor dengan risiko paling rendah adalah sektor komoditas yang meliputi batu bara, pertambangan, dan perkebunan. Sementara itu sektor perbankan, konsumen, telekomunikasi, dan menara dinilai memiliki risiko rendah sampai menengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News