Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Halving Bitcoin (BTC) akhirnya terjadi pada 20 April 2024. Harga aset digital tersebut diperkirakan bakal terus menanjak hingga menembus rekor tertinggi baru.
Sebagai informasi, Bitcoin halving adalah peristiwa ketika imbal hasil untuk menambang transaksi Bitcoin dipotong setengahnya atau 50%. Hadiah untuk menambang satu blok berkurang dari 6.25 BTC menjadi 3.125 BTC, sehingga menciptakan efek kelangkaan dan bakal meningkatkan nilai dari waktu ke waktu.
Halving ini tidak hanya menurunkan jumlah Bitcoin yang dihasilkan per blok, tetapi juga berpotensi memicu fluktuasi harga yang signifikan, sehingga membuatnya menjadi momen yang sangat diantisipasi. Adapun Bitcoin sudah melewati 4 kali siklus halving, sejak pertama kali dilakukan pada 2012 silam.
Namun, investor saat ini diharapkan sedikit bersabar untuk melihat Bitcoin berada di level tertinggi baru. Selama masa penantian ini, harga Bitcoin kemungkinan bakal mengalami fluktuasi signifikan.
Baca Juga: Pasca Halving, Harga Bitcoin Berada di Level US$ 65.079, Simak Prospek ke Selanjutnya
Crypto Analyst Reku Fahmi Almuttaqin mengatakan bahwa secara historis, momen Bitcoin halving tidak secara otomatis menyebabkan harga Bitcoin melonjak. Bitcoin cenderung memulai reli yang sesungguhnya antara 1 hingga 5 bulan setelah halving terjadi.
Di samping itu, halving yang dilakukan tahun 2024 ini menjadi berbeda karena level harga tertinggi baru atau new all time high (ATH) berhasil tercipta sebelum halving dilakukan. Berdasarkan data Coinmarketcap, harga tertinggi sepanjang masa Bitcoin sebesar US$73.750 yang dicapai pada 14 Maret 2024 lalu.
“Hal ini dapat menjadi sinyal atau indikasi bahwa potensi permintaan Bitcoin pada siklus bullish kali ini mungkin akan lebih besar dari periode siklus-siklus sebelumnya,” kata Fahmi kepada Kontan.co.id, Jumat (19/4).
Menyoal potensi kenaikan harga, berdasarkan indikator Stock to Flow (S2F) yang membandingkan jumlah aset tersimpan dan jumlah yang diproduksi setiap tahun, harga Bitcoin diproyeksi akan terapresiasi signifikan dan berada di kisaran US$ 250.000 pada Februari 2025, sebelum naik ke US$ 450.000 pada Mei 2025.
Walaupun indikator S2F sempat menuai banyak komentar, khususnya pada fase bearish 2022 lalu terkait berbagai kelemahan dalam kalkulasi yang digunakan, namun saat ini harga Bitcoin berada pada area yang sangat dekat dengan level harga yang telah diindikasikan oleh indikator tersebut.
“Meskipun hal itu tidak menjamin tren yang sama di masa depan, akurasi yang ditunjukkan indikator S2F sejauh ini membuatnya menarik untuk diperhatikan,” imbuh Fahmi.
Kendati demikian, Reku terus menghimbau masyarakat untuk tetap memantau kondisi pasar secara reguler agar dapat menyesuaikan strategi investasinya dengan cermat. Di tengah potensi pemulihan pasar kripto dan potensi kenaikan harga Bitcoin, Reku terus mengajak investor untuk bijak mengambil keputusan.
Trader Tokocrypto Fyqieh Fachrur mengamati bahwa BTC akan mengalami penurunan harga sebelum mendapatkan momentum untuk bull run. Tren penurunan ini bukan hal yang tidak terduga, karena BTC yang mengikuti tren historis menjelang halving mendatang.
Baca Juga: CEO Indodax Nilai Having Bitcoin 2024 Unik dan Berbeda
Bitcoin perlahan-lahan beralih dari fase Pre-Halving Rally ke fase Pre-Halving Retrace yang cenderung terjadi 28 hingga 14 hari sebelum peristiwa halving. Fase ini mengakibatkan penurunan harga masing-masing sebesar 38% dan 20% pada tahun 2016 dan 2020.
“Sejarah Bitcoin menunjukkan penurunan besar-besaran sebelum berkurang separuhnya yang diikuti oleh reli besar-besaran,” ungkap Fyqieh dalam siaran pers, Kamis (18/4).
Di samping itu, penurunan Bitcoin baru-baru ini terjadi akibat beberapa faktor yang memengaruhi, utamanya meningkatnya ketegangan konflik Iran-Israel dan keyakinan The Fed yang tidak mungkin menurunkan suku bunga secara terburu-buru pada tahun ini.
Meskipun harga BTC mungkin akan mengalami koreksi harga lagi, Fyqieh melihat prospek Bitcoin tampak bullish dalam jangka panjang. Khususnya, setelah fase Pre-Halving Retrace, BTC akan memasuki fase akumulasi ulang.
Fase akumulasi mungkin akan berlangsung selama hampir 5 bulan. Rentang akumulasi ulang ini yang dapat meningkatkan harga Bitcoin mencapai harga tertinggi (ATH) baru.
Fyqieh berujar, banyak investor akan terguncang pada fase ini karena kebosanan, ketidaksabaran, dan kekecewaan terhadap kurangnya hasil besar dalam investasi BTC mereka setelah halving. Padahal, setelah Bitcoin keluar dari area akumulasi ulang, terobosan ke tren naik hingga bertumbuh menuju titik tertinggi baru.
Secara historis, reli yang berkepanjangan selalu terjadi setelah peristiwa halving, yang berlangsung selama 6-18 bulan. Bitcoin naik rata-rata 61% dalam enam bulan menjelang halving sebelumnya, dan naik rata-rata 348% dalam enam bulan setelah halving.
Fyqieh menambahkan bahwa adanya ETF BTC spot kemungkinan dapat mempercepat tren kenaikan harga BTC dan menciptakan kondisi pasar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini karena ETF BTC akan terus membeli lebih banyak BTC, sehingga membebani pasokan Bitcoin.
BTC memiliki dukungan kuat di dekat angka US$ 60.000. Harga Bitcoin mungkin akan rebound setelah menyentuh level tersebut. Namun, jika gagal menguji support tersebut dan berada di bawahnya, maka kemungkinan BTC mencapai US$ 58.000. Pada sisi positifnya, jika harga BTC naik, maka akan menemukan resistensi di level US$73.662 dan US$77.080.
Fyqieh menyarankan, jika memang ingin akumulasi aset seperti Bitcoin, mungkin bisa mulai terapkan strategi Dollar Cost Averaging (DCA) untuk mengurangi volatilitas Bitcoin di masa dekat dekat ini. Mengadopsi strategi DCA dapat membantu investor membeli BTC secara konsisten dan mengurangi risiko harga yang terlalu tinggi atau rendah.
“Investor juga dapat memperhatikan tren historis dan analisis teknis untuk menentukan titik masuk dan keluar yang tepat," tutur Fyqieh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News