Reporter: Dimas Andi | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menghadapi tantangan berat jelang pertengahan tahun 2025. Hal ini seiring tren perlambatan permintaan ekspor batubara serta tuntutan proyek hilirisasi komoditas tersebut.
Melansir Reuters, ekspor batubara termal Indonesia pada Januari—April 2025 mengalami penurunan 12% atau 20 juta ton menjadi 150 juta ton. Penyebab utama penurunan ini akibat lemahnya permintaan dari dua negara tujuan utama, yakni China dan India.
PTBA sendiri sebenarnya mampu mencetak kenaikan penjualan ekspor batubara di tengah tren industri yang cenderung negatif. Tercatat pada kuartal I-2025 lalu, ekspor batubara emiten pelat merah ini tumbuh 34% secara tahunan menjadi 5,09 juta ton. Secara keseluruhan, penjualan batubara emiten tersebut naik 7% secara tahunan menjadi 10,28 juta ton pada kuartal I-2025.
Baca Juga: Aktivitas Tambang Ilegal di Wilayah IUP Bukit Asam (PTBA) Ditindak Tegas
Kendati demikian, Pengamat Pasar Modal Muhammad Thoriq Fadilla menyampaikan, penurunan ekspor batubara nasional yang terjadi akhir-akhir ini tetap menjadi peringatan bagi PTBA yang notabene sedang gencar menggenjot ekspor. Ini menandakan bahwa negara-negara besar seperti China dan India bisa saja mengurangi ketergantungannya terhadap batubara dari negara lain.
“Ke depan kami rasa tren ini belum akan sepenuhnya pulih,” ujar dia, Rabu (14/5).
Menurut Thoriq, negara-negara besar saat ini semakin agresif melakukan transisi energi, sehingga kemungkinan risiko perlambatan ekspor batubara masih tinggi. Oleh karena itu, PTBA perlu segera memperluas pasar ke negara-negara non-tradisional dan bersiap menghadapi tekanan harga batubara.
Di sisi lain, pelemahan permintaan batubara ini juga dapat menjadi momentum bagi PTBA untuk mulai serius merancang strategi diversifikasi bisnis, bukan hanya mengandalkan ekspor batubara mentah.
PTBA sendiri telah merancang sejumlah agenda hilirisasi komoditas batubara. Salah satu yang kerap jadi sorotan adalah proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) yang dapat mengurangi ketergantungan impor LPG.
Tuntutan agar proyek DME bisa terlaksana tampak begitu besar. Bahkan, dalam berita sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bakal mencabut sebagian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PTBA jika proyek ini tidak berjalan.
Baca Juga: Bahlil Bakal Cabut Sebagian Wilayah Izin PTBA Jika Proyek DME Tak Dijalankan
Thoriq menilai, proyek DME memang penting dari sudut pandang pemerintah karena tujuannya untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG. Namun, dari sisi PTBA sebagai entitas bisnis, proyek ini sangat kompleks dan berisiko tinggi. Tantangan utamanya adalah keekonomian proyek yang masih belum masuk akal, di mana biaya produksi DME jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual LPG.
“Jadi, tanpa dukungan insentif atau subsidi dari pemerintah, proyek ini akan sangat membebani keuangan PTBA,” kata dia.
Selain itu, PTBA juga masih kesulitan mencari mitra strategis untuk proyek DME paska mundurnya Air Products, sehingga menandakan bahwa investor global belum yakin terhadap kelayakan proyek tersebut.
Meski ada minat dari investor China, sampai saat ini belum ada komitmen pasti. Alhasil, wajar apabila PTBA masih berhati-hati dan menunggu kepastian regulasi atau insentif sebelum benar-benar mengeksekusi proyek DME.
Thoriq sendiri merekomendasikan beli saham PTBA di area Rp 2.740—2.760 per saham dengan target harga di kisaran Rp 2.740—2.760 per saham dan stop loss di harga Rp 2.700 per saham.
“Secara valuasi saham PTBA relatif murah dan bisa rebound jika ada katalis positif seperti harga batubara global naik lagi atau kepastian proyek hilirisasi,” imbuhnya.
Sementara itu, Senior Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas dalam riset 15 April 2025 merekomendasikan hold saham PTBA dengan target harga satu tahun di level Rp 3.100 per saham. Proyeksi harga saham ini mencerminkan price earning ratio (PER) PTBA di level 6,65 kali dan price to book value (PBV) di level 1,42 kali.
“Kami juga memproyeksikan dividen yield PTBA pada 2025 sebesar 8% dengan asumsi dividend payout ratio (DPR) 50% dari total laba bersih 2024, sedangkan dividen yield pada 2026 diperkirakan sebesar 7,5%,” tulis Sukarno.
Risiko penurunan harga saham PTBA berasal dari perlambatan ekonomi global, fluktuasi harga batubara, risiko nilai tukar rupiah, transisi energi, dan kebijakan pemerintah.
Selanjutnya: Presiden Prabowo dan Sultan Hassanal Bolkiah Bahas Penguatan Kerja Sama RI-Brunei
Menarik Dibaca: Kementerian UMKM dan Lazada Latih 150 Pelaku Usaha Padang Memasuki Dunia Digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News