Reporter: Agustinus Beo Da Costa |
JAKARTA. PT Garuda Tujuh Buana Tbk (GTBO) merevisi ulang dan mengaudit kembali laporan keuangan kuartal ketiga. Tidak seperti laporan keuangan sebelumnya, kali ini manajemen memisahkan penjualan dan pendapatan dari penjualan atas hak pemasaran dari Agrocom Ltd dalam dua akun yang berbeda.
Karenanya, nilai penjualan GTBO di laporan kedua yang ini hanya Rp 804,40 miliar. Sedangkan pendapatan dari penjualan hak pemasaran kepada PT Agrocom Ltd sebesar Rp 711,16 miliar ditempatkan dalam akun pendapatan lainnya.
Padahal, dalam laporan keuangan pertama yang dirilis 19 Desember 2012 lalu, manajemen GTBO memasukkan dana Rp 711,15 miliar hasil pembayaran dari Agrocom itu sebagai Penjualan Hak Pemasaran (sales of marketing rights) dalam akun pendapatan. Alhasil, pendapatan GTBO melambung 823,78% year-on-year (yoy) menjadi Rp 1,5 triliun di akhir September 2012.
Direktur Penilaian Perusahan Bursa Efek Indonesia Hoesen mengatakan perubahan laporan keuangan GTBO itu sudah tepat dan sesuai PSAK No. 23. " Yah awalnya memang dimasukan ke akun pendapatan di atas penjualan, makanya kita diskusikan dan bahkan kita suspend. Tetapi perubahan yang sekarang ini sudah benar, "ujar Hoesen ketika dihubungi Kontan, Kamis (10/1).
Analis Panin Sekuritas Fajar Indra mengatakan, logikanya jika aset batubara GTBO yang hendak dijual ke Agrocom sudah dipisahkan dari aset perseroan seluruhnya, penjualan itu bisa masuk ke pendapatan lain-lain. Namun jika aset batubara itu belum dipisahkan, maka sebaiknya masuk ke dalam akun liabilitas.
Namun ia menilai laporan keuangan GTBO yang dirilis Kamis (9/1) ini lebih baik karena tidak memasukkan pendapatan dari penjualan hak pemasaran itu dalam pendapatan operasional.
Sekedar mengingatkan, kejanggalan ini pada mulanya terendus dari lonjakan pendapatan dan laba bersih GTBO sejak akhir semester I 2012. Waktu itu, GTBO meraih kenaikan pendapatan 3.075% menjadi Rp 1,15 triliun. Imbasnya, laba bersih GTBO di semester I 2012 turut melambung 7.294% menjadi Rp 939,81 miliar.
Kilas balik lonjakan kinerja GTBO
Kenaikan kinerja tak wajar tersebut berasal dari kontrak jual-beli 10 juta ton batubara dengan pembeli asal Uni Emirat Arab (UEA). Kontrak tersebut tercantum dalam laporan keuangan per 30 Juni 2012.
Dalam klausul kontrak disebutkan bahwa pengiriman batubara akan dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pengiriman sebanyak 3 juta ton akan dilakukan sebelum 31 Desember 2014. Kedua, sebanyak 3,5 juta ton akan dikirimkan sebelum 31 Desember 2015. Ketiga, pengiriman batubara sebanyak 3,5 juta ton akan dilakukan sebelum 31 Desember 2016.
Permasalahannya, kontrak jual beli tersebut memiliki klausul yang tidak umum dari yang biasa dilakukan perusahaan batubara. Pihak pembeli memiliki opsi menggunakan jasa kontraktor sendiri untuk menambang batubara di area konsesi Garda Tujuh yang berada di Pulau Bunyu, Kalimantan Timur (Kaltim).
Skema pembayaran transaksi jual beli tersebut juga tidak lazim. GTBO mewajibkan pihak pembeli untuk membayar pembelian di muka jauh sebelum pengiriman batubara dilakukan.
Rinciannya, pembeli diwajibkan membayar biaya pembelian sebesar US$ 75 juta sebelum tanggal 30 Juni 2012. Pada tahap kedua, pembeli wajib membayar US$ 87,5 juta sebelum 30 Juni 2013. Terakhir, biaya pembelian sebanyak US$ 87,5 juta harus dibayar sebelum 30 Juni 2014.
Skema pembayaran di muka ini kemudian dibukukan GTBO sebagai pendapatan. Imbasnya, pendapatan dan laba bersih GTBO per 30 Juni dan 30 September 2012 melambung sangat tinggi.
Managing Partners Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe menilai transaksi penjualan batubara ini tidak lazim dan baru pertama kali terjadi di Indonesia. Biasanya, penjual sendiri yang mengekspoloitasi dan kemudian menjualkan batubara kepada pembeli secara langsung. Namun dalam kasus GTBO ini, pembeli sendiri yang harus turun melakukan eksploitasi. Inilah yang menyebabkan pembukuan transaksinya simpang siur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News