Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pelemahan rupiah terhadap dollar AS sempat memukul kinerja PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL). Tekanan kian besar mengingat produsen ban ini memiliki utang obligasi dalam bentuk kurs dollar AS.
Kendati demikian, manajemen belum memiliki rencana untuk merubah profil utangnya tersebut. "Sebab, utang kami itu jatuh temponya masih tahun 2018 nanti," tandas Catharina Widjaja, Sekertaris Perusahaan GJTL.
Utang obligasi yang dimaksud adalah senior secured notes senilai US$ 500 juta. Obligasi ini memiliki suku bunga 7,75% per tahun dan telah diterbitkan GJTL pada 6 Februari 2013 lalu.
Obligasi ini diterbitkan untuk melunasi saldo utang callable step-up guaranteed secured bonds senilai US$ 412,49 juta. Obligasi yang satu ini memiliki suku bunga mulai dari 5% hingga 10,25% per tahun dan akan jatuh tempo tahun ini.
Dalam perjanjian Senior Secured Notes tersebut, GJTL diharuskan memenuhi kewajiban untuk menjaga posisi consolidated EBITDA to fixed charged tidak melebih level 2,75 kali. Manajemen pun berhasil memenuhi persyaratan tersebut.
Hal ini pula yang membuat lembaga pemeringkat Moody's Investors Service (Moody's) mempertahankan peringkat (corporate family rating) GJTL di posisi B2, meski kinerja keuangan produsen ban itu merosot di 2013 lalu. Rating ini diberikan pada awal April lalu.
Sejak awal, Moody's menilai kinerja GJTL memang pasti akan terganggu seiring dengan semakin ketatnya persaingan antar produsen ban, tingginya beban transportasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, serta depresiasi nilai tukar rupiah. Sehingga, penurunan kinerja ini memang sesuai dengan ekspektasi.
Kendati tekanan kian hebat, Moody's menilai, GJTL tetap layak menggenggam rating B2 lantaran leverage yang tidak terlalu besar, yakni 3 kali di akhir tahun lalu. Profil likuiditas GJTL pun dinilai Moody's masih solid meski dihantam berbagai sentimen negatif.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, fluktuasi kurs rupiah masih terus terjadi. Tak jarang pula pergerakannya berada dalam kecenderungan melemah. Namun, hal ini tetap tidak membuat GJTL meminimalisir paparan tersebut, misalnya dengan menggunakan metode lindung nilai alias hedging. Andai ada kebijakan hedging, maka kebijakan tersebut hanya dilakukan atas beban bunga yang dimiliki perusahaan.
"Tapi, biaya hedging itu mahal, sementara pelemahan rupiah sekarang juga lebih manageable. Jadi, daripada untuk hedging, biayanya lebih baik kami gunakan untuk operasional bisnis kami," jelas Catharina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News