Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berekspansi cukup agresif dengan memesan 90 unit pesawat baru dari Boeing dan Airbus di Paris Air Show. Nilai pemesanan ini mencapai US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 267 triliun.
Manajemen GIAA mengklaim ekspansi jumbo ini tidak akan mengganggu kondisi keuangan GIAA dalam jangka panjang. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko GIAA, Ari Ashkara mengatakan, sebagian besar pesawat akan didatangkan dengan skema penyewaan atau operating leasing. Dengan skema tersebut, GIAA akan menjual kembali pesawat yang dibelinya kepada pihak lessor dan menyewa kembali pesawat tersebut.
"Operating lease memang sedang jadi tren di industri pesawat saat ini. Skema ini tidak menambah beban pinjaman," ujar Ari kepada KONTAN, Selasa (16/6). Pengaruh operating lease hanya muncul pada laporan laba rugi pencatatan biaya sewa. Ia mengatakan, GIAA ingin mempertahankan skema leasing dengan porsi 20% Financial Lease dan 80% Operating Lease.
Dengan skema itu, GIAA belum akan mencari pinjaman perbankan baru. Ari bilang, saat ini Debt to equity Ratio (DER) GIAAbaru sebesar 1,2 kali. Rasio itu tidak boleh lebih dari 2,5 kali. "DER akan tetap terjaga," imbuhnya.
Analis BNI Securities, Thennesia Debora mengatakan, mengingat GIAA baru bisa membukukan laba pada Kuartal I-2015 ini, ekspansi GIAA cenderung terlalu agresif. Namun, skema sale and lease back dirasa tidak akan menambah pos beban utang. "Namun beban operasional tetap akan meningkat karena ada beban sewa," katanya.
Ia melihat ekspansi agresif GIAA ini memang akan memacu kinerja GIAA dalam jangka panjang. Pasalnya, persaingan maskapai semakin ketat. Sehingga, penambahan armada menjadi salah satu jalan keluar untuk mengejar pendapatan tinggi.
Yang jelas, GIAA harus pandai melakukan efisiensi. "Kita akan lihat kinerja di Kuartal II akan seperti apa," imbuhnya. Jika di Kuartal II ini GIAA bisa mempertahankan kinerja positif, perseroan berpotensi membukukan laba sampai akhir tahun. Ia memperkirakan, GIAA masih mampu mencetak laba bersih sebesar US$ 75 juta tahun ini.
Thennesia mengatakan, tahun ini GIAA akan banyak mendapat tambahan beban dari penerbitan sukuk global senilai US$ 500 juta. Namun, GIAA akan terbantu dari adanya penurunan harga minyak yang bisa mengurangi beban operasionalnya.
Ia masih merekomendasikan Hold saham GIAA dengan target harga Rp 615 per saham yang mencerminkan Price Earning Ratio (PE) tahun ini sebesar 13 kali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News