Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
Operator seluler terbesar ketiga di Indonesia, PT Indosat Tbk (ISAT) juga telah mengurangi eksposure utang dollar AS. Per akhir 2019, utang dalam neraca Indosat sebesar Rp 21,6 triliun dalam rupiah. Ini terjadi setelah ISAT refinancing pinjaman US$ 20 juta pada tahun 2019.
Fitch memperkirakan mayoritas pendapatan dan biaya operasional Indosat dalam mata uang lokal, dengan kurang dari 10% dalam mata uang asing. Namun, margin EBITDA operasional di bawah tekanan karena telah membayar sekitar 15% dari total kewajiban sewa dalam dollar AS.
Baca Juga: Mewaspadai Penurunan Kemampuan Korporasi Membayar Utang
Kondisi kinerja dan biaya operasional PT XL Axiata Tbk (EXCL) jauh lebih baik. Fitch mencatat, semua utang XL sebesar Rp 27 triliun (termasuk kewajiban sewa) semuanya dalam mata uang rupiah pada akhir Desember 2019. XL telah membiayai kembali pinjaman bank dalam dollar AS pada awal 2019 dengan utang rupiah. Ini untuk mengurangi eksposurnya terhadap fluktuasi mata uang asing.
Perusahaan menara PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) memiliki utang berdenominasi dollar AS paling besar yakni sebesar 82%. Sementara perusahaan menara lain seperti PT Profesional Telekomunikasi Indonesia yang dimiliki oleh PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) memiliki utang dollar AS sebesar 28% dan perusahaan menara terbesar ketiga PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) sebesar 56%.
Meski tingkat utang TBIG dalam dollar AS cukup besar. Tapi, TBIG telah mengurangi risiko nilai tukar mata uang asing dengan lindung nilai pokok utang dollar AS melalui swap lintas mata uang dan spread call option. Pembayaran bunga atas utang juga telah dilindungi nilai (hedging) melalui pertukaran mata uang asing dan lindung nilai alami dari penerimaan sekitar US$ 40 juta atau sekitar 13% dari pendapatan. Pendapatan dalam dollar AS tersebut berasal dari pendapatan sewa tahunan.