kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.144   56,00   0,35%
  • IDX 7.090   106,44   1,52%
  • KOMPAS100 1.059   18,57   1,79%
  • LQ45 832   15,44   1,89%
  • ISSI 215   2,37   1,12%
  • IDX30 424   8,09   1,94%
  • IDXHIDIV20 511   9,36   1,87%
  • IDX80 121   2,07   1,75%
  • IDXV30 125   0,81   0,65%
  • IDXQ30 142   2,54   1,83%

Empat emiten bakal delisting, begini proyeksi dan saran dari analis


Minggu, 21 Juli 2019 / 10:30 WIB
Empat emiten bakal delisting, begini proyeksi dan saran dari analis


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sepanjang semester I 2019 Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan ada dua perusahaan yang ditendang dari perusahaan tercatat yakni PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP) dan Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BBNP). Sejumlah analis memproyeksikan tentunya ada beberapa saham lainnya yang berpotensi ikut didelisting tahun ini.

Namun kebijakan delisting bisa saja bukan keputusan sepihak Bursa, ada emiten yang akan delisting karena sukarela seperti PT Danayasa Arthatama Tbk (SCBD) dan PT Merck Sharp Dhome Pharma Tbk (SCPI).

Sebelumnya Kontan pernah melaporkan alasan SCBD sukarela delisting karena tidak memenuhi ketentuan V.2 Peraturan Bursa No. 1-A yang mewajibkan memiliki pemegang saham minimal 300 pihak. Namun saat ini pemegang saham SCBD hanya 74 pihak.

Selain itu bagi emiten farmasi SCPI karena sudah tidak membutuhkan dana publik dan sudah bisa memenuhi kebutuhan sumber dana internal. Induk usaha Merck Sharp & Dhome Corp siap mendanai bisnis SCPI.

Analis sekaligus Presiden Director CSA Institute Aria Santoso menyatakan masih ada potensi beberapa perusahaan yang akan delisting.

“Sebab kalau melihat keadaan saat ini walaupun secara umum faktor politik dan ekonomi Indonesia sudah membaik, belum tentu skala mikro juga ikut baik sebab masalah internal perusahaan sangat beragam,” jelasnya saat ditemui di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (21/7).

Sebelumnya BEI pernah menyebut dua emiten yakni seperti PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BORN) dan PT Bara Jaya Internasional Tbk (ATPK) yang berpotensi delisting karena masalah internal perusahaan.

Aria menyatakan salah satu indikator pertama yang bisa diperhatikan investor untuk mencermati perusahaan yang bermasalah adanya notasi khusus atau tato yang diberikan bursa kepada emiten tersebut. Ditambah emiten tersebut dikenan suspensi yang sudah diterapkan menahun. Hal ini harus diperhatikan investor karena berdasarkan ketentuan BEI perusahaan yang tidak ditransaksikan selama 24 bulan atau 2 tahun berpotensi delisting.

Melansir data BEI per 18 Juli 2019 tercatat ada 40 emiten yang dikenakan notasi khusus dari Bursa. Kebanyakan atau 25 di antaranya diberi tanda E karena laporan keuangan terakhir menunjukkan ekuitas negatif.

Tapi ada juga yang diberikan tiga tato sekaligus karena masalahnya cukup serius.Misalnya saja BORN yang sudah genap 4 tahun disuspensi. Dia mendapat tato E,S, dan L yang artinya ‘E’ laporan keuangan terakhir menunjukkan ekuitas negatif, ‘S’tidak ada pendapatan usaha, dan ‘L’ perusahaan belum menyampaikan laporan keuangan.

Kendati demikian Aria menjelaskan investor jangan sampai salah paham, notasi khusus bukan satu-satunya alasan bursa akan mendelisting. Sebab ada juga perusahaan yang sudah diberikan tato jadi terpicu untuk memperbaiki kinerjanya.

Faktor lainnya bisa juga karena adanya pelanggaran berat dari manajer investasi terkait aktivitas transaksi yang ilegal. Aria spesifik menjelaskan kasus delisting saham SIAP. Menurutnya dalam kasus ini ada pelanggaran serius yang dilakukan emiten yakni adanya insider trader.

Banyak broker yang terlibat dalam perdagangan saham SIAP. Tapi di samping gitu, SIAP juga punya keadaan fundamental yang memprihatinkan yakni kegiatan penambangan batu bara belum mulai berproduksi. Bahkan penundaan ini sejak 2015 lalu sampai saat ini. Ditambah sahamnya tidak ditransaksikan baik di pasar tunai maupun regular selama 44 bulan.

Begitu juga dengan Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma yang menjelaskan potensi delisting selalu ada tapi tidak banyak. “Namun harus dilihat penyebabnya karena delisting tidak berlangsung seketika,” ujarnya.

Salah satu perusahaan yang delisting pada awal tahun ini yakni BBNP karena aksi korporasi yakni merger dengan Bank Danamon Tbk (BDMN) sehingga perusahaan akan menjadi satu.

Namun bukan berarti, protokol delisting adalah buruk. Aria menyatakan delisting merupakan fenomena cukup baik karena ada kepeduliaan dari otoritas bursa bagaimana terus menjaga kinerja IHSG dengan melepas emiten yang kurang baik atau underperform.

Sebab saat delisting ada dua peluang penyelesaian bagi investor, yakni sahamnya akan dibeli lagi oleh perusahaan atau saham itu tidak dibeli tapi investor jadi punya kepemilikan di perusahaan tersebut.

Nantinya kalau sudah ada restrukturisasi, perbaikan kinerja perusahaan secara keseluruhan dan ternyata prospeknya jadi membaik, bisa saja perusahaan akan listing kembali di bursa. Namun butuh waktu yang cukup lama untuk menunggunya.

Aria menyatakan ada beberapa strategi yang bisa dilakukan investor agar terhindar atau setidaknya meminimalkan resiko dari saham-saham yang akan delisting.

Pertama, pastikan investor dapat edukasi yang cukup tentang investasi, memahami bukan hanya harga bergerak tapi juga bisa melihat perusahaan yang diikutinya menerapkan good governance, rasio utang, dan terutama dibaca lewat laporan keuangannya.

Kemudian lakukan re-management di mana satu portofolio tidak hanya beli dari satu perusahaan saja. Baiknya membeli dari beberapa perusahaan sehingga resikonya bisa terbagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×