Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten tambang batubara tengah diwarnai berbagai sentimen beragam. Salah sentimen yang membuat saham emiten tambang batubara bisa meredup adalah langkah China yang baru-baru ini menghentikan impor dari Australia.
Isnaputra Iskandar Analis Maybank Kim Eng Sekuritas memperkirakan, penghentian impor akan berdampak negatif untuk harga batubara setidaknya dalam waktu dekat. Sementara itu, pemberian insentif kepada perusahaan batubara menurut dia masih kurang jelas.
Baca Juga: Obral insentif, ada royalti 0% dan izin seumur tambang bagi perusahaan batubara
Menurut Isnaputra, penurunan harga batubara akan berdampak positif pada sektor semen. Emiten yang menjadi pilihan Maybank adalah PT Semen Indonesia Tbk (SMGR). Dia menilai, SMGR akan diuntungkan karena biaya bahan bakar batubara menyumbang 20%-25% dari biaya.
"Kami pikir keputusan China untuk menghentikan impor batubara dari Australia bisa jadi sentimen negatif untuk harga batubara internasional," pendapat Isnaputra dalam riset. Sebab menurut dia, pembakaran dan kelembaban sebagai karakteristik batubara bisa memaksa Australia untuk menjual batubaranya ke luar negeri segera. Tentunya ini akan berdampak pada harga batubara.
Meskipun sebagian besar impor China berasal dari Australia, Maybank Kim Eng memperkirakan ini hanya memenuhi 2,5% dari total konsumsi domestik China. Ini artinya China dapat menggantikan batubara Australia dengan produksi dalam negeri tanpa harus beralih ke negara lain, seperti Indonesia, Mongolia, dan Rusia.
Insentif royalti 0% untuk pemrosesan batubara yang memiliki nilai tambah, sebagaimana disebutkan dalam Omnibus law menurut Isnaputra juga masih perlu kejelasan lebih lanjut dari pemerintah. Sebab definisi "nilai tambah" masih belum jelas.
Baca Juga: IPA: Omnibus Law jamin tak ada perubahan kontrak migas
"Kami memikirkan pembangunan pembangkit listrik mulut tambang dapat termasuk dalam kategori ini karena membuat batubara dengan tingkat karbon rendah menjadi dapat dijual," kata Isnaputra. Namun, menurut Maybank royalti 0% akan menguntungkan PLN (BUMN ketenagalistrikan) dan berdampak netral terhadap produsen batubara lain. Sebab penetapan harga berdasarkan rumus biaya-plus.
Baca Juga: China Dikabarkan Boikot Batubara Australia, Dampaknya Malah Tidak Baik Buat Emiten
"Kami menilai Omnibus law PPN batubara juga tidak jelas karena akan meningkatkan harga beli listrik PLN," terang Isnaputra. Hal ini dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi atau anggaran negara yang lebih tinggi untuk PLN.
Margin perusahaan batubara bisa di bawah tekanan jika PLN tidak dapat menaikkan harga listrik atau jika pemerintah tidak memberikan subsidi tambahan kepada PLN.
Untuk sektor tambang, Isnaputra memilih PT Vale Indonesia Tbk (INCO) sebagai saham pilihan. Sebab menurut dia, harga nikel memiliki prospek lebih baik ketimbang batubara. Pasalnya dinamika penawaran dan permintaan nikel jauh lebih baik.
"Kami memperkirakan permintaan nikel bisa meningat 4,6% menjadi 3 juta ton. Ini karena permintaan baterai yang cukup kuat terutama untuk kendaraan listrik," tutur Isnaputra dalam riset. Dia menyebut kontribusi dari permintaan nikel mencapai 17% di tahun 2024. Angka ini meningkat dari tahun 2019 dimana permintaan nikel untuk baterai mencapai 3%.
Baca Juga: Adaro Energy (ADRO) belum berencana menambah porsi ekspor ke China, ini alasannya
Maybank menilai secara sektoral emiten tambang disarankan neutral. Sementara itu pilihan saham Maybank adalah INCO yang disarankan beli dengan target harga Rp 5.000 per saham. Pilihan saham lain adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan target Rp 2.450 per saham. Sedangkan SMGR disarankan beli di Rp 13.000 per saham. Satu lagi PT United Tractors Tbk (UNTR) direkomendasikan beli dengan target Rp 29.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News