Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
Hal yang sama juga diungkapkan analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya. Menurutnya, tak hanya pencabutan subsidi listrik dan bahan bakar yang memberatkan prospek emiten ritel. Namun faktor lain seperti pemangkasan anggaran Program Keluarga Harapan (PKH), naiknya iuran BPJS Kesehatan dan harga rokok semakin memperpanjang katalis negatif.
“Anggaran PKH dipotong dari Rp 36 triliun dan jadi Rp 29 triliun. Sementara naiknya iuran BPJS Kesehatan dan cukai rokok akan semakin memperbesar anggaran pengeluaran kelompok menengah ke bawah,” terang Christine.
Baca Juga: Mega Perintis (ZONE) anggarkan capex Rp 30 miliar untuk ekspansi
Christine melihat perpaduan ini semua bisa membuat daya beli masyarakat turun yang pada akhirnya berdampak terhadap penjualan emiten ritel. Ia juga menambahkan salah satu katalis positif yang bisa mendorong pengeluaran konsumen juga diprediksi akan mulai berkurang pada tahun ini, yakni promo dari dompet digital.
“Sejak semester II-2017 hingga semester I-2019 promo dari dompet digital sangat agresif, saya rasa pada tahun ini dompet digital sudah tidak lagi gencar dalam menawarkan promo. Berdasarkan riset kami, saat ini para pemain top dompet digital sudah menawarkan promo lebih rendah dibandingkan periode tersebut,” terang Christine.
Kendati diselimuti awan mendung, setidaknya masih terdapat secercah harapan terhadap pertumbuhan emiten ritel. Analis Indo Premier Sekuritas Kevie Wijaya dalam risetnya pada 23 Januari 2020 menulis setidaknya terdapat dua faktor yang bisa mendorong kinerja emiten ritel.
“Dengan kenaikan harga CPO di 2020, emiten ritel bisa terkena imbasnya karena dapat meningkatkan lagi daya beli masyarakat. Pengeluaran pada hari raya juga bisa lebih baik dengan pembayaran THR yang di awal,” tulis Kevie dalam risetnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News