Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kondisi pasar tahun ini belum berpihak pada produsen minyak sawit mentah atau crude paln oil (CPO). Tren penurunan harga CPO menyebabkan kinerja keuangan pekebun sawit merosot di awal tahun ini.
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), misalnya, mencatatkan penjualan Rp 3,23 triliun di kuartal I-2015. Penjualan sebanyak ini turun 13% dibandingkan periode sama tahun lalu. Bahkan laba bersih AALI anjlok 80% menjadi Rp 156,09 miliar di kuartal I-2015.
Penurunan kinerja juga dialami emiten CPO lainnya, yakni PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) dan PT Salim Ivomas Tbk (SIMP).
Kinerja keuangan belum pulih, emiten perkebunan kini dihadapkan dilema. Pada pertengahan Mei 2015 lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden No 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Melalui Perpres ini, pemerintah menerapkan pungutan atas ekspor komoditas berbasis sawit dan turunannya terhadap produsen CPO.
Pungutan dana CPO itu akan dipakai untuk pengembangan industri kelapa sawit atau yang dikenal dengan CPO Supporting Fund alias CPO Fund. Dengan kebijakan ini, produsen sawit akan ditarik pungutan US$ 50 untuk setiap ton CPO yang diekspor dan US$ 30 untuk setiap ekspor produk turunan CPO.
Pemerintah meyakini, CPO Fund akan meningkatkan permintaan domestik sehingga mengerek harga CPO. Upaya ini juga bertujuan mendorong pengolahan CPO (hilirisasi) di dalam negeri dan menaikkan nilai tambah CPO.
Namun, pungutan ini dinilai menambah beban produsen CPO di tengah lesunya harga komoditas itu. Tekanan terutama akan dialami emiten yang nilai ekspornya tinggi.
Analis Bahana Securities, Agustinus Reza Kirana, menilai efek kebijakan itu terhadap kenaikan harga CPO baru terasa dalam jangka panjang. "Sedangkan jangka pendek akan memberikan efek negatif terhadap emiten CPO dalam negeri," ujar Agustinus.
Harga jual CPO memang akan naik, namun hal ini menyebabkan harga CPO menjadi tidak kompetitif ketimbang harga komoditas minyak lain. Alhasil, permintaan pasar internasional terhadap CPO berkurang sehingga berpotensi menggerus harg a jualnya.
Tahun ini, pendapatan emiten sawit tidak akan tumbuh signifikan, bahkan bisa susut. Faktanya sudah terlihat di kuartal pertama tahun ini.
SGRO misalnya, mencatatkan penurunan penjualan 22,9% (yoy) menjadi Rp 526,9 miliar di kuartal I-2015. Adapun laba bersihnya merosot 70% (yoy) jadi Rp 16,57 miliar.
Sebenarnya porsi penjualan ekspor SGRO terbilang kecil, tidak sampai 1% dari seluruh total nilai penjualan.
Analis First Asia Capital, David Nathanael Sutyanto, memperkirakan penjualan SGRO di tahun ini tumbuh 7% dan laba bersihnya berpotensi menyusut 2,9%.
Untuk AALI, analis Samuel Sekuritas Frederick Daniel Tanggela memprediksi, kinerjanya tahun ini stagnan akibat sentimen negatif CPO Fund. Dia memperkirakan laba bersih AALI tertahan di Rp 2,5 triliun, dan pendapatan tumbuh tipis jadi Rp 17 triliun.
Namun, para produsen CPO masih optimistis prospek bisnisnya bagus. AALI, misalnya, menjual hampir seluruh produknya di pasar domestik dan sejak tahun lalu mengoperasikan pabrik yang menghasilkan produk turunan CPO.
Kebijakan CPO Fund juga bakal menekan SIMP. Sekitar 20% total pendapatan SIMP berasal dari ekspor.
Analis Ciptadana Securities, Andre Varian dalam riset 5 Mei 2015 memperkirakan kebijakan CPO Fund sebesar US$ 50 per ton akan menyisakan produk turunan CPO yang berlimpah. Ini lantaran volume produksi di beberapa pabrik SIMP akan meningkat. Di tahun ini, penjualan CPO SIMP diprediksi menurun 6%-8%. Laba bersihnya juga ditaksir turun 47%.
CPO Fund secara umum bisa membawa efek negatif bagi emiten sawit, khususnya emiten dengan volume ekspor besar. Simak rekomendasi analis terhadap saham emiten CPO di bawah ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News