Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi korporasi berupa pembelian kembali (buyback) saham ramai sejak awal tahun ini. Pelemahan harga dan pasar saham yang tercermin pada penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi momentum pas bagi emiten untuk buyback saham.
Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana melihat bahwa koreksi pada IHSG yang membuat harga saham sejumlah emiten terdiskon menjadi salah satu penyebab yang mendorong perusahaan melakukan buyback saham. Dengan begitu, para emiten tersebut mampu melakukan pembelian di harga bawah atau minimal tidak membeli saat harga premium.
"IHSG yang sedang terkoreksi menjadi momen yang tepat untuk melakukan buyback saham. Kami mengamati, mayoritas emiten melakukan buyback di saat pasar atau IHSG sedang mengalami koreksi," kata Raditya kepada Kontan.co.id, Kamis (12/5).
Baca Juga: Asing Net Sell di Pasar Obligasi, Net Buy di Pasar Saham Indonesia
Sekadar mengingat, sejak awal tahun 2022, setidaknya ada 16 emiten yang merancang dan melanjutkan aksi buyback saham. Mereka adalah PT Jaya Real Property Tbk (JRPT), PT Provident Agro Tbk (PALM), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Royal Prima Tbk (PRIM), dan PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL).
Kemudian ada PT Kino Indonesia Tbk (KINO), PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk (AMAG), PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP).
Selanjutnya ada PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) dan PT Cikarang Listrindo Tbk (POWR).
Baca Juga: IHSG Masih Rawan Koreksi, Berikut Saham-Saham yang Bisa Dicermati
Senior Technical Analyst Henan Putihrai Sekuritas Liza Camelia Suryanata mengungkapkan bahwa emiten akan menggelar aksi buyback ketika mereka melihat harga saham jatuh di bawah harga wajar. Di sisi lain, langkah ini juga bisa jadi merupakan strategi untuk menyelamatkan earning per share (EPS) secara keseluruhan ketika turun.
Jumlah saham beredar berkurang dengan aksi buyback tersebut. "Maka ujung-ujungnya angka laba per saham relatif tidak terlihat terlalu timpang dengan periode sebelumnya," kata Liza.
Menurut Liza, aksi korporasi ini tidak serta merta bisa mendongkrak harga saham. Kenaikan harga akan sejalan dengan masa market recovery dan perbaikan performa perusahaan sehingga harga saham akan bisa kembali meningkat ke harga wajar atau premium.
"Aksi buyback secara logika dilakukan ketika harga saham sedang murah-murahnya. Sehingga tidak serta merta diharapkan bisa mengerek harga naik. Juga banyak regulasi seputar pelaksanaan corporate action ini seperti berapa persen saham yang boleh di-buyback di pasar," terang Liza.
Baca Juga: Ditopang Optimisme Masyarakat, Simak Rekomendasi Saham Emiten Sektor Ritel Berikut
Lebih lanjut, Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menyebutkan faktor lain yang mendorong emiten melakukan aksi buyback saham adalah saldo kas melimpah di saat harga di pasar sedang relatif rendah. Di saat yang bersamaan, emiten tersebut belum ada rencana ekspansi yang memerlukan pendanaan besar.
Alhasil, saldo kas perusahaan yang menumpuk cukup jumbo. Supaya saldo kas dapat produktif, salah satu yang bisa dilakukan yaitu buyback saham. "Yang perlu diperhatikan pelaku pasar, valuasi saham emiten tersebut, apakah benar-benar murah? Karena bisa saja penilaian murah hanya dari pandangan manajemen saja," ujar Pandhu.
Pelaku pasar juga dinilai perlu untuk memperhatikan anggaran dan jangka waktu pelaksanaan buyback. Jika anggaran yang disiapkan kecil, maka dampaknya pun tidak begitu signifikan. Demikian juga dengan jangka waktu pelaksanaan.
"Karena selama periode buyback itu, semacam memperoleh keyakinan bahwa emiten juga ikut menjaga harga saham sehingga tidak terlalu jatuh dalam, sebab mendapat tambahan demand dari emiten sendiri," sebut Pandhu.
Dalam hal ini, Pandhu memberikan catatan bahwa momentum buyback saham yang tepat tidak selalu berpedoman terhadap posisi IHSG, melainkan berdasarkan harga saham masing-masing emiten. Meski, koreksi pada IHSG juga mencerminkan pelemahan harga saham pada sejumlah emiten.
"Terutama jika terjadi crash yang mengakibatkan koreksi dalam, tanpa terjadinya perubahan fundamental yang signifikan. Momentum crash gara-gara capital outflow jangka pendek seperti beberapa hari belakangan bisa jadi merupakan momentum yang bagus," tandas Pandhu.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengamini bahwa pergerakan IHSG tidak sertamerta membuat suatu emiten langsung melakukan buyback. Alhasil, semua akan berpulang pada pergerakan masing-masing saham.
Baca Juga: Respons Rilis Data Ekonomi AS, IHSG Melemah 3,17% pada Kamis (12/5)
Mengenai dampak terhadap pergerakan harga, signifikan atau tidaknya akan bergantung pada seberapa menarik saham tersebut dilirik oleh investor. Dalam hal ini, nilai suatu saham akan berpulang pada fundamental dan potensi valuasi emiten di masa mendatang.
Sebab, faktor tersebut berpeluang memberikan capital gain. Hal ini lah yang akan mengundang daya tarik investor, untuk kemudian mendorong kenaikan harga saham dari emiten tersebut.
Jika potensi fundamental dan valuasi bisa lebih tinggi dari saat ini, maka saham tersebut dapat dikategorikan masih undervalued. Dalam deretan saham-saham ini, Nico menyarankan pelaku pasar untuk mencermati BBRI, MIKA, HEAL, ADRO, INTP, SRTG, dan MDKA.
"Kalau ditanya yang undervalued, berarti saham-saham yang masih dikategorikan murah. Kenapa? karena ternyata setelah dihitung valuasinya, saham-saham tersebut berpotensi mengalami kenaikan," sebut Nico.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, M. Nafan Aji Gusta Utama menambahkan, saham dari emiten-emiten yang menggelar buyback bisa dikatakan menarik ketika telah mencermati prospeknya secara jangka panjang. Sedangkan secara teknikal, pelaku pasar bisa memperhatikan area support yang ideal untuk melakukan akumulasi atau trading.
Baca Juga: Menakar Ketahanan IHSG di Tengah Tingginya Inflasi AS
Untungnya, setidaknya hingga akhir 2022, prospek kinerja emiten secara umum masih terbilang positif untuk meningkatkan performa fundamentalnya. Meski diliputi oleh turbulensi ketidakpastian faktor global, namun situasi pasar Indonesia dinilai masih cukup tangguh.
Menimbang kondisi saat ini, Nafan menilai saham MIKA, JPFA, LPPF, BBRI, ADRO dan INTP cukup menarik untuk dicermati pelaku pasar. "(Saham-saham tersebut) memiliki peluang untuk menciptakan sebuah pergerakan harga saham yang akan menjadi uptrend ke depannya," sebut Nafan.
Sedangkan Liza merekomendasikan speculative buy untuk saham PALM dengan mencermati entry level Rp 610 per saham-Rp 600 per saham, average up Rp 880 ke atas, serta target harga di Rp 970 per saham-Rp 1.020 per saham. Kemudian speculative buy saham ROTI dengan target menutup gap Rp 1.340 per saham-Rp 1.400 per saham, dan buy on weakness saham INTP dengan memperhatikan support di Rp 10.000 per saham-Rp 9.900 per saham.
Baca Juga: IHSG Anjlok ke 6.599 pada Kamis (12/5) Diiringi Net Sell Asing di Saham Bank
Sementara itu, Pandhu melihat saham INTP, BBRI, POWR, dan KLBF masih cukup undervalued. Dia pun menyarankan pelaku pasar untuk mencermati saham INTP dan BBRI dengan target untuk 12 bulan mendatang berada di level Rp 12.000 per saham untuk INTP dan Rp 5.000 per saham untuk BBRI.
Selanjutnya, Raditya menjagokan saham MIKA, KLBF, dan INTP dengan target harga masing-masing berada di level Rp 3.000 per saham, Rp 1.850 per saham, dan Rp 12.150 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News