Reporter: Dimas Andi | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketidakpastian kembali menghantui emiten-emiten di sektor minyak dan gas (migas). Hal ini seiring pergerakan harga komoditas minyak mentah yang cenderung volatil dan tak menentu dalam beberapa waktu terakhir.
Berdasarkan data di situs Trading Economics, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$ 60,45 per barel pada Senin (7/4) pukul 11.18 WIB atau turun 2,48% dibandingkan perdagangan sebelumnya. Harga minyak WTI pun anjlok 8,43% dalam satu bulan terakhir. Padahal, pada dini hari tanggal 3 April lalu, harga minyak WTI sempat menyentuh level US$ 72,06 per barel.
Tren serupa terjadi pada minyak mentah jenis Brent. Harga minyak Brent terpantau melemah 2,48% ke level US$ 63,95 per barel pada Senin (7/4) pukul 11.18 WIB. Dalam sebulan terakhir, harga minyak ini terkoreksi 7,73%. Setali tiga uang, harga minyak Brent sempat menembus level US$ 75,05 per barel pada 3 April lalu, sebelum mengalami koreksi tajam.
Pelemahan harga minyak dunia ini bertepatan dengan pengumuman Presiden Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan tarif impor terbaru yang menyasar ke banyak negara. China sebagai importir minyak terbesar kemudian melakukan serangan balasan dengan mengenakan tarif sebesar 34% terhadap produk-produk AS. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dari kalangan pelaku pasar bahwa perang dagang akan memasuki babak baru.
Baca Juga: Mitra Adiperkasa (MAPI) Raih Pendapatan Rp 37,83 Triliun di 2024, Naik 13,55%
Ditambah lagi, OPEC+ memutuskan untuk melanjutkan rencana peningkatan produksi, yang mana organisasi ini menargetkan untuk mengembalikan produksi 411.000 barel per hari (bpd) ke pasar pada Mei 2025 atau jauh lebih tinggi dari produksi sebelumnya yakni 135.000 bpd.
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo Ahmad Iqbal Suyudi menyampaikan, kebijakan tarif AS memang berpotensi mengganggu rantai pasok minyak mentah dunia yang ujung-ujungnya akan berdampak negatif bagi harga komoditas tersebut. Apalagi, pada 2 April lalu Presiden Donald Trump juga menandatangani perintah penerapan tarif 25% untuk impor mobil, sehingga berdampak pada permintaan minyak di Negeri Paman Sam.
Sentimen negatif ini tentu bisa memengaruhi kelangsungan usaha emiten-emiten migas, terutama yang bergerak di sektor hulu baik sebagai produsen maupun jasa pendukungnya. Misalnya, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Rukun Raharja Tbk (RAJA), PT Elnusa Tbk (ELSA), PT Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS), dan emiten lain sejenisnya.
Peluang emiten-emiten migas untuk tumbuh tetap terbuka, mengingat pemerintah sedang gencar memperkuat ketahanan energi dalam negeri. Dalam catatan Kontan, pemerintah telah menyiapkan 21 proyek tahap pertama untuk hilirisasi energi yang akan didanai dengan investasi US$ 40 miliar. Contoh proyeknya adalah pembangunan kilang minyak berkapasitas 500.000 barel per hari dan fasilitas penyimpanan minyak di Pulau Nipah, Kepulauan Riau.
Namun, tantangan dari dalam negeri tetap ada seiring daya beli masyarakat yang cenderung melemah. “Adanya insentif pajak dari pemerintah untuk mobil listrik dan hybrid juga membuat permintaan minyak cenderung flat,” kata Iqbal, Kamis (27/3) lalu.
Harga minyak dunia tentu diharapkan akan segera pulih. Jika momentum itu muncul, maka emiten-emiten migas terutama di sektor hulu akan diuntungkan mengingat adanya ekspektasi kenaikan penjualan dan laba bersih.
Iqbal menyebut, saham emiten migas yang dapat diamati investor adalah ELSA. Emiten yang bergerak di jasa hulu migas ini berpotensi diuntungkan dengan adanya program-program ketahanan energi dari pemerintah. Dia pun merekomendasikan beli saham ELSA dengan target harga di area resistance sekitar Rp 460—480 per saham.
Sementara itu, dalam riset 5 Februari 2025 lalu, Analis BRI Danareksa Sekuritas Timothy Wijaya dan Naura Reyhan Muchlis menegaskan peringkat netral terhadap saham-saham di sektor migas. Untuk sektor tersebut, mereka merekomendasikan beli saham MEDC dengan target harga Rp 1.400 per saham dan beli saham PT Wintermar Offshore Marine Tbk (WINS) dengan target harga Rp 610 per saham.
BRI Danareksa Sekuritas menyebut, WINS berpotensi mencatatkan kenaikan kinerja seiring permintaan jasa eksplorasi migas yang lebih kuat pada tahun ini. Di sisi lain, MEDC tengah menghadapi risiko stagnasi produksi di tengah tren penurunan harga minyak dunia. “Hal ini dapat mengurangi laba perusahaan pada tahun 2025,” tulis Timothy dan Naura.
Di luar dinamika harga minyak dunia, BRI Danareksa Sekuritas menilai kinerja emiten migas, terutama yang fokus pada komoditas gas bumi, secara jangka panjang dapat terpengaruhi oleh rencana pemerintah yang menargetkan untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan ekspor gas pada 2036.
Hal ini telah tertuang dalam Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Indonesia. Data Kementerian ESDM pun menunjukkan, ekspor gas Indonesia turun 33,4% dalam sembilan tahun terakhir dari 2.860 BBTUD pada 2016 menjadi 1.905 BBTUD pada 2024.
Baca Juga: Penantian Warren Buffett selama Bertahun-tahun Akhirnya Terjadi: Pasar Saham Jatuh
Selanjutnya: Daftar Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Bulan April Tahun 2025
Menarik Dibaca: Harga HP Samsung A56 Terbaru April 2025, Dapatkan Fitur Unggulan Berikut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News