Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Dalam beberapa pekan terakhir, harga jagung di pasar internasional merangkak naik. Kenaikan harga bisa berdampak pada biaya produksi pakan ternak.
Oleh karena itu, emiten sektor poultry atau unggas seperti PT Charoen Pokphan Indonesia Tbk (CPIN), Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), Malindo Feedmill Tbk (MAIN), dan Sierad Produce Tbk (SIPD) akan terkena imbasnya.
Dessy Lapagu, analis BNI Securities menilai, kenaikan harga jagung tak bisa diterka. "Secara jangka pendek harganya fluktuatif," katanya. Namun, sejak awal tahun emiten poultry diuntungkan dengan penguatan mata uang rupiah. Sehingga meski harga jagung naik, biaya produksi masih bisa ditekan.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan tahun 2013. Tahun lalu, nilai tukar rupiah cenderung melemah. Namun, harga komoditas termasuk jagung lebih rendah dari awal tahun ini. "Kondisi terbalik, jadi biaya operasionalnya sama saja," kata analis Investa Saran Mandiri, Kiswoyo Adi Joe.
Analis Mandiri Sekuritas, Herman Koeswanto dalam risetnya tanggal 20 Maret 2014 bilang, pemasok pakan ayam serta pengusaha sektor poultry dalam skala kecil mulai terpengaruh dengan kenaikan harga pakan, disamping pengaruh persaingan usaha.
Hal ini terlihat dari rendahnya harga ayam dan telur selama kuartal I tahun ini. Herman menemukan penurunan harga anak ayam usia sehari (DOC) terendah sepanjang dekade, yakni Rp 500 - Rp 600 per ekor.
Tahun ini, harga tertinggi DOC hanya Rp 6.000 - Rp 6.500 per ekor. Sedangkan tahun lalu harganya mencapai Rp 8.000 per ekor. Hal ini merupakan akibat dari melemahnya permintaan. Jika harga pakan ternak terus naik, emiten poultry mau tidak mau harus menaikkan harga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News