kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.360.000   29.000   1,24%
  • USD/IDR 16.616   9,00   0,05%
  • IDX 8.067   -160,68   -1,95%
  • KOMPAS100 1.104   -18,58   -1,66%
  • LQ45 772   -16,13   -2,05%
  • ISSI 289   -5,28   -1,79%
  • IDX30 403   -8,81   -2,14%
  • IDXHIDIV20 455   -7,63   -1,65%
  • IDX80 122   -2,25   -1,82%
  • IDXV30 131   -1,45   -1,10%
  • IDXQ30 127   -1,92   -1,49%

Emiten CPO Ramai-ramai Klarifikasi Lahan, Ini Prospek dan Rekomendasinya


Selasa, 14 Oktober 2025 / 20:06 WIB
Emiten CPO Ramai-ramai Klarifikasi Lahan, Ini Prospek dan Rekomendasinya
ILUSTRASI. Para analis memberikan rekomendasi saham dan prospek untuk emiten CPO di tengah klarifikasi lahan


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten produsen minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) ramai-ramai menerbitkan klarifikasi terkait kepemilikan lahan di kawasan hutan.

Hal itu menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 tentang sanksi administratif dan PNBP di sektor kehutanan. Berdasarkan keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), asumsi denda maksimal sebesar Rp 25 juta per hektare per tahun sejak awal penguasaan lahan.

Mayoritas emiten CPO mengaku sama sekali tak memiliki lahan di kawasan hutan tanpa perizinan sah. Namun, beberapa emiten mengaku perubahan kebijakan membuat kepemilikan lahan mereka menjadi ada di kawasan hutan.

Baca Juga: Cermati Rekomendasi Saham Astra Agro Lestari (AALI) di Tengah Kenaikan Harga CPO

Beberapa di antaranya adalah PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS), PT Pradiksi Gunatama Tbk (PGUN), dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT).

PGUN menjelaskan, berdasarkan izin usaha yang dimiliki, perseroan tidak memiliki lahan kelapa sawit yang berada atau ditanami di dalam kawasan hutan.

Namun, berdasarkan Undangan Klarifikasi Nomor B-296/PKH-2/03/2025 tanggal 14 Maret 2025 dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan Notulensi Hasil Pertemuan Tindak Lanjut antara Perseroan dengan Satgas PKH tanggal 20 Maret 2025, terdapat temuan bahwa sebagian luasan lahan dalam Hak Guna Usaha Nomor 10/Kerang seluas 16.404,4059 hektare (ha) atas nama PT Senabangun Anekapertiwi yang terindikasi berada dalam kawasan hutan.

Direktur Utama PGUN, Khairuddin Simatupang mengatakan, perusahaan tersebut telah efektif bergabung ke dalam PGUN sejak 22 Desember 2022 berdasarkan SK Kemenkumham No. AHU-AH.01.09-0089710 tanggal 22 Desember 2022.

Perlu ditegaskan bahwa lahan tersebut belum ditetapkan sebagai kawasan hutan pada saat penerbitan Hak Guna Usaha Nomor 10/Kerang tanggal 18 April 1998 (HGU 10/PTSA), sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peta Gambar Situasi No.2/1998 tanggal 29 Januari 1998 dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 8/HGU/BPN/98.

“Kategori lahan yang masuk kawasan hutan baru ditetapkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6628/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021 tanggal 27 Oktober 2021, sebagaimana tercatat dalam Notulensi Tindak Lanjut tanggal 20 Maret 2025,” katanya dalam keterbukaan informasi tanggal 13 Oktober 2025.

Baca Juga: Ditopang Permintaan Domestik dan Ekspor, Simak Rekomendasi Saham Emiten Sektor CPO

Oleh karena itu, PGUN telah memperoleh hak/menguasai/memanfaatkan/mengelola lahan tersebut berdasarkan izin usaha yang sah sesuai peruntukannya sebelum lahan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan, sehingga saat ini status lahan tersebut masih dalam proses penyelesaian penguasaan tanah/pengeluaran lahan dari kawasan bersama instansi terkait.

Seluruh lahan yang dimaksud berada di Provinsi Kalimantan Timur, dengan rincian sebagai berikut. Pertama, cagar alam seluas 419,025 hektare yang tidak dimanfaatkan atau ditanami sawit. 

Kedua, hutan produksi seluas 298,071 hektare. Rinciannya, 86,15 hektare yang dimanfaatkan dan ditanami sawit oleh masyarakat, 67,92 hektare yang dimanfaatkan dan ditanami sawit oleh perusahaan, dan 144,001 hektare yang merupakan semak belukar.

Meskipun begitu, Sekretaris Perusahaan PGUN, Muhammad Reza menegaskan bahwa belum ada tagihan kepada perseroan untuk kewajiban pembayaran denda akibat perubahan ketentuan dalam proses perizinan lahan tersebut.

“Proses tersebut tidak akan mengganggu kinerja operasional, karena nilainya tidak material,” ujarnya saat dikonfirmasi Kontan, Selasa (14/10).

NSSS menjelaskan, perseroan memang memiliki lahan kelapa sawit di dalam kawasan hutan tanpa perizinan yang sah. Luas lahan itu masih dalam proses verifikasi dan terletak di Provinsi Kalimantan Tengah.

Namun, NSSS belum mendapatkan surat lebih lanjut terkait pengenaan denda tersebut.

“Alhasil, perseroan belum dapat melakukan estimasi mengenai dampak material dari potensi denda tersebut terhadap laporan keuangan perseroan, khususnya pada pos aset, kewajiban kontinjensi, dan laba bersih tahunan,” kata Direktur NSSS, Kurniadi Patriawan dalam keterbukaan informasi tanggal 10 Oktober 2025.

Sedangkan ANJT bilang ada potensi area lahan perseroan yang saat ini teridentifikasi dalam kawasan hutan dan belum memiliki perizinan. Namun, hal itu bukan disebabkan unsur kesengajaan, tetapi konsekuensi dari penetapan atau perubahan status kawasan hutan oleh Pemerintah setelah perizinan usaha telah diperoleh perseroan.

Baca Juga: Saham Emiten CPO Terus Melaju, Bisa Panen Cuan Sampai Kapan?

“Informasi detail mengenai luasan dan lokasi area sedang dalam proses verifikasi dan penyelesaian melalui mekanisme resmi di instansi terkait. Secara proporsional, luasan area tersebut tidak berdampak signifikan terhadap total area operasional maupun keberlangsungan usaha perseroan secara keseluruhan,” paparnya.

Abdul Azis Setyo, Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia mengatakan, pelaku pasar masih mengapresiasi kenaikan harga CPO. Melansir RTI, harga CPO saat ini ada di level MYR 4.460 per ton.

Sementara, isu denda lahan konservasi belum jadi sentimen negatif besar karena perusahaan terdampak bersikap kooperatif. 

“Namun, jika ke depan berdampak ke izin operasional, bisa memicu tekanan baru,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (14/10).

Equity Analyst Phillip Sekuritas, Marvin Lievincent mengatakan, untuk jangka pendek, kasus tersebut kemungkinan secara fundamental belum terasa dampaknya lantaran belum ada tindak lanjut akan masalah ini.

Tetapi, untuk jangka panjang, jika masalah ini terus tereskalasi, mungkin akan ada kelangkaan suplai karena lahan sawit para emiten akan berkurang. 

“Sektor CPO ke depan masih tetap bullish. Sebab, permintaan CPO masih bagus dan stabil, tetapi suplainya cenderung stagnan di beberapa tahun terakhir,” katanya kepada Kontan, Selasa.

Analis BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand melihat, denda atas kebun sawit di lahan konservasi memang menimbulkan tekanan jangka pendek bagi emiten CPO. Namun, dampaknya terhadap fundamental perusahaan relatif terbatas.

Denda ini bersifat one-off, sehingga tidak akan menjadi beban berulang yang menggerus profitabilitas jangka panjang. “Pengaruh utamanya hanya terlihat pada penurunan laba bersih dan ekuitas di periode pembukuan tertentu,” ujarnya kepada Kontan, Selasa.

Dengan harga CPO yang masih tinggi di kisaran MYR 4.520 per metrik ton, emiten besar dengan arus kas baik tentu cukup kuat untuk menyerap denda tersebut tanpa mengganggu kelangsungan operasional. Risiko yang lebih nyata justru ada pada tekanan likuiditas jangka pendek jika pembayaran dilakukan sekaligus.

Baca Juga: Kinerja Emiten CPO Melesat per Semester I, Cermati Prospek dan Rekomendasinya

Selain itu, implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 dan PP Nomor 45 Tahun 2025 tampaknya akan berjalan bertahap dan masih terbuka ruang negosiasi hukum, sehingga memberi waktu bagi emiten untuk menyesuaikan skema pembayaran. 

“Oleh karena itu, isu ini lebih bersifat sementara dan berpotensi menciptakan volatilitas harga saham jangka pendek, tanpa mengubah prospek positif sektor yang tetap ditopang oleh kuatnya harga komoditas,” ungkapnya.

Abida melihat, kinerja emiten CPO pada kuartal III 2025 diperkirakan akan sangat kuat, karena periode tersebut merupakan peak season produksi. Didukung oleh harga CPO yang tinggi, laba bersih emiten kemungkinan melonjak secara kuartalan. 

Memasuki kuartal keempat, produksi biasanya turun secara musiman. Namun, fenomena La Niña yang berlangsung hingga awal 2026 berpotensi menekan pasokan dan menjaga harga tetap tinggi, sehingga margin keuntungan tetap solid. 

Menjelang 2026, katalis struktural muncul dari implementasi program biodiesel B50 pada paruh kedua tahun tersebut. Kebijakan ini akan mengalihkan sekitar 5,3 juta ton CPO dari ekspor ke pasar domestik untuk kebutuhan energi, menciptakan price floor baru yang menopang harga global. 

“Kombinasi harga tinggi, meningkatnya permintaan domestik, dan melemahnya rupiah akan memperkuat kinerja sektor,” tuturnya. 

Meski demikian, beberapa risiko masih perlu diwaspadai, seperti denda konservasi, regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), stagnasi produktivitas lahan, dan potensi tekanan fiskal terhadap Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). 

“Secara keseluruhan, periode 2025-2026 berpotensi menjadi fase bullish bagi sektor CPO, dengan TBLA, SIMP, dan LSIP sebagai kandidat unggulan berkat valuasi rendah, integrasi vertikal, serta kekuatan hilirisasi,” paparnya.

Secara valuasi, emiten dengan prospek price to earning ratio (PER) 2026 di bawah 6x masih menawarkan peluang rerating besar seiring dengan prospek harga CPO yang kuat dan implementasi kebijakan B50. 

Menurut Abida, PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) menjadi top pick dengan valuasi paling murah di kisaran 5x serta keunggulan di lini hilir sebagai bagian dari Grup Wilmar. 

 

Kemudian, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) juga direkomendasikan beli dengan forward PER masing-masing 5,4x dan 5,7x, didukung oleh integrasi vertikal dan efisiensi Grup Salim. 

“Sementara itu, DSNG dan TAPG direkomendasikan hold karena valuasi sudah mencerminkan premium dibandingkan peers-nya,” tuturnya.

Menurut Azis, kinerja kuartal III masih berpotensi tumbuh mengingat adanya kenaikan average selling price (ASP) ini mendorong dari sisi pendapatan dari emiten sawit. 

“Di sisi lain, penerapan B40 juga masih mendorong dari sisi demand atau volume sehingga kami melihat kuartal III-2025 dan kuartal IV-2025 masih bisa mencatatkan kinerja positif. 

Azis pun merekomendasikan beli untuk LSIP dengan target Rp 1.460 per saham.

Selanjutnya: Promosi dan Menu Baru Jadi Penopang Kinerja Domino's Pizza

Menarik Dibaca: 7 Ciri-Ciri Kecanduan Seks, Salah Satunya Suka Selingkuh!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×