Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah nikel, pemerintah berencana untuk melarang ekspor bahan mentah komoditas mineral lainnya. Dua komoditas yang berencana dilarang adalah tembaga dan timah.
Nantinya, semua bahan-bahan mentah diekspor dalam bentuk barang setengah jadi atau barang jadi. Hal ini dilakukan pemerintah guna mendapat nilai tambah (added value) dari komoditas mineral.
Analis NH Korindo Sekuritas Samuel Glenn Tanuwidjaja menilai, secara jangka pendek, rencana ini sekilas terlihat bukan sentimen positif bagi emiten pengolah timah dan tembaga.
Namun jika dilihat secara jangka panjang, rencana ini dapat meningkatkan kualitas ekspor dan mendorong kemajuan teknologi di sektor logam dan mineral. “Jadi istilahnya seperti “blessing in disguise,” terang Glenn kepada Kontan.co.id, Senin (29/11).
Glenn meyakini, rencana tersebut memiliki sentimen jangka panjang dan akan akan menguntungkan emiten. Pertama, bisa meningkatkan nilai kompetitif (competitive value). Ketika bahan mentah (raw material) diolah menjadi “processed material" dan diekspor, proses ini akan meningkatkan nilai jual.
Baca Juga: Harga timah melesat 78% sejak awal tahun
Contohnya, jika timah diproses langsung untuk pelapis baja dan dijual ke pabrikan kaleng, harga jualnya pasti akan naik.
Dia juga memberikan contoh lainnya, yakni jika tembaga diolah menjadi konduktor kabel dan dijual ke manufaktur kabel listrik, maka dipastikan nilai jualnya bertambah.
Kedua, rencana ini bisa memperluas lingkup permintaan domestik. Jika timah dan tembaga diproses di dalam negeri untuk siap dijual ke sektor industri langsung, hal ini akan membuat ketergantungan terhadap produk impor berkurang. Alhasil, perusahaan yang bergerak di sektor kelistrikan atau baja bisa mengandalkan produk lokal.
Kedua komoditas ini punya pasar yang baik di sektor kelistrikan. Tembaga adalah komoditas dengan sifat konduksi yang cukup baik sebagai pengantar listrik, sehingga menjadi komponen utama pembuatan berbagai macam kabel. Selain itu, tembaga dibutuhkan dalam mesin transmisi di kendaraan.
“Di sisi lain, timah adalah bahan utama pelapis baja untuk alat-alat rumah tangga, pelapis baja , dan lapisan di mesin otomotif,” sambung Glenn.
Baca Juga: Alasan Jokowi tetap larang ekspor nikel meski digugat di WTO
Analis Panin Sekuritas Timothy Wijaya menambahkan, rencana pelarangan tembaga dan timah, seharusnya dibarengi dengan kesiapan pengolahan mineral di dalam negeri.
Misalkan, jika pemerintah atau emiten mampu membuat pabrik hilirisasi, salah satunya timah yang bisa dijadikan solder. Ini sangat berdampak baik bagi PT Timah Tbk (TINS) ke depannya karena emiten pelat merah ini bisa mengekspor barang dengan nilai yang jauh lebih tinggi.
“Tetapi untuk saat ini TINS belum ada fasilitasnya, jadi kalau saat ini belum siap,” terang Timothy.
Kalau memang kebijakan ini nantinya akan dieksekusi, dia menilai seharusnya akan ada lebih banyak lagi investasi smelter di Indonesia. Sama halnya ketika pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel.
“Secara keseluruhan baik buat Indonesia, harga juga bisa terjaga,” pungkas Timothy.
Jika nantinya semua produksi timah Indonesia hanya diperbolehkan untuk dalam negeri, Timothy menilai harga timah berpotensi untuk naik lagi. Sebab, Indonesia salah satu produsen timah terbesar di dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News