Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan medium term notes (MTN) tidak cukup ramai di paruh pertama tahun ini. Lesunya penerbitan surat utang jangka menengah sejalan dengan minimnya penerbitan obligasi korporasi karena suku bunga tinggi.
Data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menunjukkan, penerbitan MTN di semester I-2023 turun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penerbitan MTN senilai Rp 3 triliun pada semester 1-2022, mengalami penurunan menjadi Rp0,87 triliun di semester I-2023. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa penerbitan MTN terkontraksi 71,0% secara year-on-year (YoY).
Berdasarkan jumlah instrumennya, sebenarnya jauh lebih tinggi yakni 12 instrumen di semester I-2023, dibandingkan 7 instrumen MTN yang diterbitkan pada semester I-2022.
Adapun PT Len Industri (Persero) merupakan perusahaan yang paling tinggi menerbitkan MTN selama semester 1- 2023. Selanjutnya disusul oleh PT Permodalan Nasional Madani Venture Capital dan PT Wahana Interfood Nusantara Tbk sebagai tertinggi kedua dan ketiga.
Baca Juga: Laris Manis, Penjualan ORI023 Capai Rp 28,9 Triliun
Menurut Chief Economist Pefindo Suhindarto, turunnya penerbitan MTN karena kondisi suku bunga yang lebih tinggi jika dibandingkan semester pertama tahun lalu. Hal ini mendorong kupon bunga bergerak naik, sehingga membuat biaya penerbitan relatif lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
“Faktor utama penerbitan lebih banyak pada kondisi suku bunga dan pertumbuhan ekonomi, yang mana keduanya berdampak pada biaya penerbitan dan penyerapan oleh investor,” ujar Darto kepada Kontan.co.id, Selasa (25/7).
Darto mengatakan, ketidakpastian di pasar finansial juga masih relatif tinggi terutama dari eksternal. Sedangkan, dari dalam negeri, fundamental ekonomi domestik masih terjaga dengan inflasi yang menurun dan tingkat pertumbuhan ekonomi di sekitar 5%.
Namun, ketidakpastian biasanya juga akan mendorong penerbitan instrumen dengan tenor jangka pendek lebih diminati karena investor lebih risk averse atau cenderung menghindari risiko. Selain itu, investor biasanya akan selektif dengan hanya menyerap surat utang yang berkualitas dengan peringkat yang tinggi.
“Mereka lebih suka tenor pendek karena kurang berisiko daripada tenor panjang,” kata Darto.
Darto melihat, penurunan nilai penerbitan MTN sebenarnya selaras dengan pasar surat utang korporasi secara keseluruhan. Suku bunga tinggi telah meningkatkan leverage keuangan dan mendorong premi yang diminta oleh investor juga naik.
Selain itu, beberapa perusahaan juga telah melakukan front loading dengan menerbitkan surat utang di tahun lalu. Faktor lainnya adalah pelaku pasar bersikap wait and see menjelang pemilu, apalagi Indonesia akan memilih kandidat baru (bukan petahana).
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah penerbitan surat utang korporasi secara nasional sebesar Rp 46,31 triliun. Jumlah tersebut lebih rendah sekitar 36% dibandingkan penerbitan surat utang korporasi pada semester I-2022 yang tercatat sebesar Rp 72,73 triliun.
Baca Juga: ORI023 Raup Rp 28,9 Triliun, Penjualan Tertinggi Sepanjang Sejarah SBN Ritel
Darto turut mencermati, nilai penerbitan MTN juga lebih rendah dibandingkan dengan obligasi konvensional dan sukuk. Nilainya hanya sekitar Rp0,87 triliun pada semester pertama 2023, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan obligasi konvensional dan sukuk, masing-masing mencapai Rp39,14 triliun dan Rp 5,57 triliun.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan, sentimen suku bunga masih menahan korporasi untuk menerbitkan surat utang, termasuk MTN. Pasalnya, Bank Sentral AS masih berpotensi meningkatkan suku bunga dua kali lagi sebelum tutup tahun ini.
Di sisi lain, inflasi global masih tinggi akibat dampak perang. Akibatnya, perusahaan masih berhati-hati dalam menerbitkan surat utang.
Minimnya jumlah penerbitan MTN juga dipengaruhi peraturan baru untuk menerbitkan obligasi korporasi dan MTN. Persyaratan untuk menerbitkan obligasi sudah hampir sama dengan MTN yang bisa dilakukan tanpa penawaran umum.
Ramdhan menambahkan, obligasi juga bisa diterbitkan dengan jangka waktu pendek, menengah atau panjang. Dengan demikian, obligasi lebih banyak dipilih oleh investor.
“Sehingga perusahaan cenderung menerbitkan obligasi dengan pangsa pasar yang lebih luas,” jelas Ramdhan kepada Kontan.co.id, Selasa (25/7).
Darto mengamini, penerbitan jumlah MTN yang relatif lebih menurun dan relatif sedikit peminatnya dibandingkan dengan obligasi konvensional setelah adanya pengetatan aturan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebagaimana diketahui, sebagian besar MTN diserap oleh manajer investasi untuk dibungkus reksadana. Namun, OJK memperketat persyaratan MTN sebagai underlying reksadana dan hanya memperbolehkan mereka yang berperingkat AA atau di atasnya.
Kendati demikian, perusahaan masih menerbitkan MTN karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan obligasi konvensional. Penerbitan MTN lebih mudah dibandingkan dengan obligasi dengan tidak memerlukan pernyataan efektif dari OJK dan tidak wajib didaftarkan di KSEI maupun dicatatkan di BEI. Selain itu, MTN juga tidak wajib diperingkat.
“Karena kemudahan tersebut, MTN menjadi salah satu jalan pintas bagi korporasi yang membutuhkan dana dalam waktu cepat,” imbuh Darto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News