kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Efek Rencana Program B50, Harga CPO Diproyeksi Tembus RM 5.500 Per Ton


Rabu, 23 Oktober 2024 / 19:00 WIB
Efek Rencana Program B50, Harga CPO Diproyeksi Tembus RM 5.500 Per Ton
ILUSTRASI. Berkurangnya ekspor Indonesia di saat permintaan berpotensi meningkat, bakal mengerek harga CPO.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Peningkatan kandungan minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dalam program biodiesel Indonesia bakal berdampak pada harga CPO global. Berkurangnya ekspor Indonesia di saat permintaan berpotensi meningkat, bakal mengerek harga CPO.

Research and Development ICDX Girta Yoga melihat, peningkatan program mandatori biodiesel akan berdampak bagi peningkatan harga CPO. Terlebih lagi, ada estimasi penurunan produksi yang terjadi di dua negara produsen utama CPO yaitu Indonesia dan Malaysia.

"Kondisi ketatnya pasokan di pasar CPO global ini sangat berpotensi kuat untuk mengangkat harga CPO," kata Yoga kepada Kontan.co.id, Rabu (23/10).

Seperti diketahui, pemerintah berencana meningkatkan penggunaan bahan bakar campuran biodiesel berbasis minyak sawit 50% dengan minyak solar (B50) yang ditargetkan pada 2026. Untuk B40, rencananya bakal diterapkan awal 2025.

Baca Juga: B50 Ditargetkan Rilis pada 2026, Gapki Ingatkan Produksi Sawit Stagnan

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, saat ini produksi sawit mentah dalam negeri mencapai 46 juta ton dengan konsumsi domestik sekitar 20 juta ton. Untuk kebutuhan program B50 diproyeksi sebesar 5,3 juta ton, yang akan diambil dari ekspor CPO sebesar 26 juta ton.

Adapun program peningkatan biodiesel B35 saat ini menjadi B40 ataupun B50 merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjalankan transisi energi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. CPO bakal digunakan sebagai bahan dasar dari BBM yang dikombinasikan dengan solar.

Yoga menjelaskan bahwa tentunya harga CPO global bakal terpengaruh kebijakan peningkatan biodiesel karena merupakan salah satu negara produsen utama komoditas tersebut. Dengan dipangkasnya ekspor, maka akan berdampak pada jumlah pasokan di pasar global.

"Gangguan keseimbangan, baik pada sisi pasokan maupun permintaan, pada akhirnya akan berpengaruh bagi harga CPO itu sendiri," tutur Yoga.

Baca Juga: Program Biodiesel Bisa Menggerus Ekspor CPO

Selain efek pasokan CPO Indonesia bakal berkurang, Yoga melihat bahwa kondisi cuaca di negara produsen utama akibat fenomena El Nino dan La Nina. Gangguan hujan lebat ataupun juga kekeringan dapat berdampak pada produksi minyak sawit, yang pada akhirnya bisa mengerek harga.

Di Malaysia, Malaysian Palm Oil Board (MPOB) melaporkan bahwa produksi CPO Malaysia meningkat sebesar 2,9% menjadi 1,89 juta ton pada bulan Agustus 2024 dari 1,84 juta ton pada bulan Juli 2024. Dari sisi ekspor, MPOB mencatat adanya penurunan 9,7% menjadi 1,53 juta ton dari 1,69 juta ton pada bulan Juli.

Namun harga CPO global kembali menguat akhir-akhir ini usai sejumlah perusahaan kargo mencatat pengiriman minyak sawit Malaysia naik secara bulanan antara 8,7% hingga 9,5% pada 1-20 Oktober. Di lain sisi, data dari Southern Peninsular Palm Oil Millers menunjukkan penurunan produksi sebesar 6,3% selama 20 hari pertama bulan Oktober dari bulan sebelumnya.

Di Indonesia, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan bahwa total produksi CPO pada Agustus 2024 sebesar 3,98 juta ton atau naik dari bulan sebelumnya sebanyak 3,61 juta ton. Sementara itu, total ekspor mengalami kenaikan dari 2,24 juta ton pada Juli menjadi 2,38 juta ton pada Agustus atau naik sebesar 6,35%.

Baca Juga: Saham Emiten Sawit Tertekan Pemangkasan Nilai (Haircut) di Bursa

Yoga turut melihat kenaikan harga minyak sawit dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar Ringgit yang melemah. Dimana, saat nilai tukar Ringgit melemah, permintaan cenderung meningkat karena daya beli dari negara importir akan ikut menguat.

Sementara itu, permintaan dari India dinilai masih berpotensi tertekan dengan kenaikan bea masuk untuk impor CPO maupun minyak kedelai sebesar 20%. Demikian juga dengan permintaan dari China yang berpotensi menurun karena lebih memilih minyak nabati.

Kendati demikian, Yoga berujar bahwa efek peralihan ke minyak nabati itu hanya jangka pendek karena China memang cenderung lebih memilih minyak nabati saat mendekati akhir tahun. CPO sendiri dianggap rentan terhadap suhu, yang mana di akhir tahun itu memasuki musim dingin, sehingga CPO gampang membeku.

Baca Juga: Menteri ESDM Pastikan Stok CPO Aman untuk Program B40 sampai B60

"Di luar musim dingin, biasanya pasar lebih mempertimbangkan disparitas harga antara CPO dan minyak nabati. Sebagai produk subtitusi dari CPO, pergerakan harga minyak nabati umumnya memiliki korelasi yang positif dengan harga CPO," jelas Yoga.

Menurut Yoga, harga CPO di tahun depan berpotensi untuk bergerak dengan level resistance di kisaran harga RM 5.500–RM 6.000 per ton. Dan apabila mendapat katalis negatif, maka ada potensi turun menuju level support di kisaran harga RM 3.500–RM 3.000 per ton.

Berdasarkan data Trading Economics, Rabu (23/10) sore, harga minyak sawit berjangka Malaysia berada di posisi RM 4.514 per ton. Harga terpantau meningkat lebih dari 2% dalam sehari dan naik sekitar 13,16% dalam periode sebulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×