Reporter: Rashif Usman | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks dolar Amerika Serikat (AS) bergerak fluktuatif pada perdagangan Kamis (3/7) seiring optimisme pasar atas kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Vietnam menjelang tenggat kenaikan tarif 9 Juli.
Mengutip Tradingeconomics, Kamis (3/7) pukul 19:56 WIB, indeks dollar berada di level 97,33, menguat 0,56% dalam sehari. Tapi posisi indeks dolar saat ini melemah 1,47% dalam sebulan terakhir dan terkoreksi 10,28% secara tahun berjalan.
Dengan tren melemahnya dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama, peluang investasi pada mata uang asing lainnya dinilai kian menarik untuk dipertimbangkan.Misalnya saja valas-valas seperti, Euro, Poundsterling dan Franc Swiss. Secara bulanan pairing EUR/USD naik 3,5% ke level 1.17735, pairing GBP/USD naik 0,77% ke level 1.36529 dan pairing USD/CHF turun 2,88% ke level 0.79481.
Baca Juga: Mata Uang Asia Diproyeksi Tetap Kuat di Tengah Pelemahan Dolar AS
Kemudian valas komoditas seperti dolar Australia, dolar Selandia Baru, dan dolar Kanada. Secara bulanan, USD/AUD naik 2,12% ke level 1.52073, USD/NZD naik 1,03% ke level 1.64701, dan USD/CAD naik 0,74% ke level 1.35783.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo mengatakan investor biasanya mencari mata uang yang menunjukkan kekuatan relatif atau memiliki prospek kenaikan suku bunga.
Mata uang komoditas seperti dolar Australia dan dolar Kanada sering kali menarik karena didukung oleh harga komoditas yang stabil atau meningkat, yang cenderung terjadi ketika ekonomi global menunjukkan tanda-tanda pemulihan meskipun ada kekhawatiran spesifik tentang pasar tenaga kerja AS.
Selain itu, mata uang yang didukung oleh kebijakan moneter yang lebih hawkish dari bank sentralnya, atau yang memiliki fundamental ekonomi yang kuat dan potensi pertumbuhan, juga menjadi pilihan menarik.
"Contohnya bisa termasuk mata uang dari negara-negara dengan pertumbuhan PDB yang solid atau neraca perdagangan yang positif. Investor akan menganalisis data ekonomi dari berbagai negara untuk mengidentifikasi kekuatan fundamental ini," kata Sutopo kepada Kontan, Kamis (3/7).
Di tengah tren pelemahan dolar AS, investor disarankan mempertimbangkan mata uang dari negara-negara dengan fundamental ekonomi solid dan prospek kenaikan suku bunga.
Mata uang seperti euro atau poundsterling bisa menjadi pilihan menarik apabila Bank Sentral Eropa (ECB) atau Bank of England (BoE) memberi sinyal kenaikan suku bunga lebih cepat dibanding Federal Reserve.
Selain itu, penting memilih mata uang dari negara dengan inflasi terkendali dan pertumbuhan ekonomi stabil. Diversifikasi portofolio valas tetap menjadi strategi kunci untuk meminimalkan risiko. Pastikan pula keputusan investasi didasarkan pada riset mendalam, tujuan keuangan, dan profil risiko.
Baca Juga: Dolar AS Melemah Jelang Rilis Data Ketenagakerjaan, Fokus ke Kebijakan The Fed
Sementara itu, Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai franc Swiss (CHF) masih sangat solid, bahkan berada di level terkuatnya terhadap dolar AS dalam 14 tahun terakhir.
Di sisi lain, yen Jepang juga dianggap menarik karena berpotensi menguat hingga menembus level 140 per dolar AS. Namun, tingginya eksposur Jepang terhadap kebijakan tarif era Trump membuat potensi penguatan yen tidak sekuat CHF.
"Dengan menurunnya sentimen terhadap dolar AS, investor atau bank sentral cenderung mengalihkan aset mata uang mereka ke CHF dan Euro," kata Lukman kepada Kontan, Kamis (3/7).
Adapun rupiah diperkirakan tidak akan menguat signifikan meski dolar AS terus tertekan. Pasalnya, dampak kebijakan tarif juga turut memengaruhi negara-negara emerging market seperti Indonesia.
Selain itu, posisi Bank Indonesia yang lebihh mementingkan stabilitas daripada penguatan besar yang dapat menciptakan volatilitas dan mengundang spekulator.
Selanjutnya: Wall Street Kamis (3/7): S&P 500 dan Nasdaq Dibuka Menembus Rekor Tertinggi Baru
Menarik Dibaca: 6 Ciri-Ciri Pasangan Toxic yang Perlu Diwaspadai, Jangan Diabaikan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News