kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.430.000   -10.000   -0,69%
  • USD/IDR 15.243   97,00   0,63%
  • IDX 7.905   76,26   0,97%
  • KOMPAS100 1.208   12,11   1,01%
  • LQ45 980   9,43   0,97%
  • ISSI 230   1,69   0,74%
  • IDX30 500   4,71   0,95%
  • IDXHIDIV20 602   4,65   0,78%
  • IDX80 137   1,32   0,97%
  • IDXV30 141   0,53   0,38%
  • IDXQ30 167   1,08   0,65%

Dikepung Sentimen Negatif, Cermati Prospek dan Rekomendasi Saham Komoditas


Kamis, 12 September 2024 / 05:15 WIB
Dikepung Sentimen Negatif, Cermati Prospek dan Rekomendasi Saham Komoditas
ILUSTRASI. Foto udara aktivitas bongkar muat batu bara di kawasan pantai Desa Peunaga Cut Ujong, Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Selasa (31/1/2023). Kinerja emiten komoditas tengah dikepung sejumlah sentimen negatif. Misalnya, harga batubara yang masih mengalami penurunan.


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten komoditas tengah dikepung sejumlah sentimen negatif. Misalnya, harga batubara yang masih mengalami penurunan.

Melansir Trading Economics, harga batubara berada di level US$ 138,75 per ton. Harga tersebut turun 12,18% secara tahunan alias year on year (yoy) dan terkoreksi 5,45% dalam sebulan.

Harga baja juga mengalami nasib serupa. Per hari Rabu (11/9), harga HRC steel ada di level US$ 695,04 per ton. Harganya turun 2,25% yoy, tetapi mampu naik 2,51% dalam sebulan terakhir.

Minyak bumi juga mengalami penurunan harga sebesar 23,38% yoy ke level US$ 66,97 per barel. Dalam sebulan, harga minyak bumi turun 16,4%.

Baca Juga: Emiten Komoditas Dikepung Sentimen Negatif, Simak Prospek dan Rekomendasi Sahamnya

Komoditas minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) juga tengah dirundung sentimen negatif. Asosiasi Minyak Sawit Indonesia mengingatkan akan adanya gangguan rantai pasokan global jika Uni Eropa (UE) melanjutkan larangan impor komoditas yang terkait dengan deforestasi tahun ini. 

UU Deforestasi UE (EUDR) sendiri akan berlaku pada 30 Desember 2024 mendatang.

Kinerja ekspor CPO dari Tanah Air juga kemungkinan turun menyusul kemungkinan penerapan pajak impor produk sawit dan turunannya oleh Pemerintah India. Saat ini, India tercatat sebagai salah satu konsumen utama CPO di dunia.

Berdasarkan catatan Kontan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor CPO dan turunannya mengalami defisit pada Juli 2024. Nilai ekspor CPO dan turunannya turun sebesar 36,37% month to month (mtm) serta turun 39,22% yoy pada bulan Juli lalu.

Baca Juga: Dikepung Sentimen Negatif, Cermati Prospek dan Rekomendasi Saham Emiten Ritel

Corporate Secretary PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG), Joni Tjeng mengatakan, hingga saat ini penjualan perseroan masih berfokus pada domestik, sehingga hambatan non-tarif perdagangan dari UE tidak secara langsung mempengaruhi performa perseroan. 

“Pada saat ini, penjualan perseroan masih berfokus pada domestik khususnya memenuhi kebutuhan demand dari refinery-refinery palm oil yang berada di Indonesia,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (11/9).

Untuk meminimalisasi dampak dari kebijakan EUDR, TAPG saat ini juga telah melakukan antisipasi melalui kolaborasi dengan para pembeli untuk memenuhi hal-hal yang dibutuhkan pada bidang upstream yang ada dalam beleid tersebut.

“Ini khususnya terkait pengembangan teknologi terkait traceability,” ungkapnya.

Baca Juga: Emiten Tambang dan Energi Gelontorkan Capex Jumbo untuk Biayai Ekspansi

Tak hanya itu, industri sawit Tanah Air juga dituntut untuk meningkatkan kemampuan produksi CPO demi memenuhi target pemerintah terkait kebutuhan bahan baku biodiesel. Hal ini terkait dengan terus dinaikkannya program mandatori biodiesel.

Asal tahu saja, pemerintah berencana menerapkan program mandatori biodiesel 40% (B40), atau campuran solar 60% dan minyak sawit 40%, pada awal tahun 2025. Nantinya, persentase bahan bakar nabati ini akan terus meningkat dalam jangka panjang melalui program B50, B60, hingga B100.

Sebelum B40 diterapkan, Indonesia telah menerapkan B35 dengan volume CPO yang dibutuhkan sebesar 13,4 juta kilo liter (kl). Sementara, program B40 akan membutuhkan pasokan volume CPO sebesar 16 juta kl.

Baca Juga: Sentimen Negatif Terus Menaungi Bursa Saham, Berikut Rekomendasi Saham Hari Ini

Harga CPO sendiri saat ini tercatat ada di level MYR 3.938 per ton, naik 6,92% yoy dan 6,17% dalam sebulan.

Equity Research Analyst at Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan mencermati, sepanjang tahun ini pergerakan harga komoditas cukup beragam. 

Pada tahun ini, banyak faktor di luar fundamental yang memengaruhi kinerja harga komoditas, seperti permintaan dan penawaran di pasar global. 

Hal ini  terutama terkait faktor ketegangan geopolitik dan juga ekspektasi perubahan kebijakan atas perubahan kepemimpinan di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat (AS).  

“Faktor-faktor ini kemungkinan masih akan tetap memengaruhi fluktuasi harga pasar komoditas setidaknya sampai awal tahun 2025,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (11/9).

Darma melihat, kinerja komoditas utama Tanah Air, seperti minyak bumi, batubara, dan CPO sebenarnya masih cukup cemerlang kinerjanya.

Baca Juga: Lonjakan Saham Masuk UMA, Manajemen Petrosea (PTRO) Buka Suara

“Harga komoditas-komoditas tersebut masih cenderung lebih tinggi dari ekspektasi pasar di awal tahun 2024 yang semula diproyeksikan terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun ini,” ungkapnya.

Pada semester II, sektor batubara masih bisa dicermati oleh para investor. Ini mengingat adanya  ekspektasi peningkatan permintaan menjelang masuknya musim dingin, terutama dari China. 

Kata Darma, data Kementerian ESDM memang memperlihatkan adanya pertumbuhan ekspor batubara yang lebih lambat dari tahun lalu sampai dengan bulan tujuh tahun ini. Namun, ke depannya ekspor batubara diproyeksikan masih akan cukup kuat. 

“Terutama, dengan adanya potensi penambahan permintaan dari negara-negara Asia Utara, seperti Jepang, Korea, dan Taiwan, Asia Tenggara, seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand, serta India,” katanya.

Baca Juga: Pemangkasan Fed Rate Berpotensi Mengangkat Harga Komoditas

Di sisi lain, apabila Fed Fund Rate alias suku bunga The Fed diturunkan dan berdampak pada penurunan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS), maka permintaan atas komoditas masih akan cukup kuat. 

Hal tersebut akan semakin mungkin terjadi jika ditambah dengan proyeksi kebutuhan energi yang lebih tinggi lagi ke depannya. Ini terutama, untuk komoditas energi, seperti minyak bumi dan batu bara.

“Jika dikaitkan dengan risiko geopolitik, ada juga potensi harga komoditas emas untuk terus mengalami uptrend ke depan,” paparnya.

Sektor komoditas yang patut dicermati adalah batubara, khususnya terkait faktor kenaikan volume produksi dan efisiensi biaya para emiten.

“Komoditas lain yang menarik kinerjanya adalah emas yang harganya masih meningkat, serta minyak bumi. Ini terkait dengan ekspektasi pelemahan dolar AS dan kebutuhan energi yang masih cukup kuat,” tuturnya.

Baca Juga: Kobexindo Tractors (KOBX) Menggali Peluang Penjualan

Darma pun merekomendasikan hold untuk ADRO dari sektor batubara dengan target harga Rp 3.660 per saham. Rekomendasi hold juga diberikan untuk ANTM dari sektor emas dengan target harga Rp 1.480 per saham.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo melihat, kinerja emiten CPO mayoritas memang tengah mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena harga komoditas CPO yang masih cenderung sideways akibat berkurangnya permintaan global.

“Adanya program B50 diharapkan bisa meningkatkan permintaan CPO, khususnya dalam mendorong penjualan para emiten sawit di dalam negeri,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (11/9).

Pada kuartal III dan kuartal IV 2024, harga CPO juga akan masih cenderung sideways

“Hari Raya Diwali dan Deepavali di India biasanya akan mendorong permintaan. Namun, hal ini bisa jadi bersifat sementara,” paparnya.

Azis pun merekomendasikan beli untuk TAPG dengan target harga Rp 820 - Rp 890 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×