kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45897,86   -28,87   -3.11%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DBS prediksi lima investasi teratas yang menarik di kuartal III 2020, apa saja?


Selasa, 30 Juni 2020 / 09:27 WIB
DBS prediksi lima investasi teratas yang menarik di kuartal III 2020, apa saja?
ILUSTRASI. Karyawan mengamati layar yang menampilkan informasi pergerakan harga saham di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (26/6/2020). DBS meramal lima investasi menarik di kuartal III 2020. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/pras.


Reporter: Barly Haliem | Editor: Sandy Baskoro

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DBS Chief Investment Office kembali mengeluarkan laporan DBS CIO Insights untuk kuartal III 2020. Laporan yang berjudul Resilient in the storm tersebut memaparkan lima investasi teratas yang menarik pada kuartal ketiga, khususnya memasuki era new normal.

Baca Juga: Berbagi Beban Biaya Krisis, Ini Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan BI

DBS melihat perubahan besar dalam cara hidup, bekerja dan bermain akibat dari dampak pandemi. Pada kuartal ketiga, grup jasa keuangan yang berbasis di Singapura ini menyoroti peluang di era pasca-pandemi seperti diversifikasi rantai pasokan, esports yang semakin naik daun dan pertumbuhan investasi hijau yang fokus pada lingkungan, sosial, dan pemerintahan.

"Kami berharap dapat memberikan gambaran peluang dalam memasuki dunia yang saat ini terus berubah,” ujar Hou Wey Fook, Chief Investment Officer, Consumer Banking & Wealth Management Bank DBS, dalam pernyataan resminya, Senin (29/6).

Baca Juga: Harga Batubara Mulai Memanas, Begini Proyeksi ke Depan

Berikut ini lima rekomendasi DBS CIO Insights 3Q20 adalah:

1) Merekomendasikan saham dibandingkan obligasi

● Valuasi saham sejalan dengan tren jangka panjang.
Meski rasio harga saham terhadap laba perusahaan (P/E ratio) untuk pasar global saat ini terlihat mahal mengingat penurunan laba perusahaan, DBS berpendapat bahwa tidak tepat membandingkan valuasi hari ini dengan sebelumnya mengingat inflasi dan tingkat suku bunga saat ini rendah. Rasio laba terhadap harga saham vs imbal hasil obligasi serta inflasi saat ini tampak sejalan dengan tren jangka panjang.

● Tidak ada keterkaitan antara ekonomi dan PDB.
Karena data makro global terus menurun, semakin banyak laporan media (bisnis) mengatakan pelemahan pasar saham berkepanjangan tak terelakkan lagi. Secara intuitif, hal ini tampak logis. Namun, kami berpendapat bahwa kaitan sejarah antara S&P 500 dan perekonomian tidak signifikan. Komposisi sektoral merupakan faktor penentu lebih besar daripada keuntungan pasar dan atas dasar ini, DBS berpendapat bahwa pasar dengan komposisi besar di bidang teknologi (seperti AS) akan memiliki peluang lebih tinggi untuk beranjak naik meskipun data perekonomian terlihat suram.

Baca Juga: Emiten Ramai Menggelar Rights Issue, Tidak Ada Jaminan Saham Baru Terserap Optimal

● FOMO muncul kembali.
DBS pertama kali mendukung gagasan bahwa FOMO (“Fear of Missing Out”) atau “takut ketinggalan” menggerakkan aset global berisiko pada Desember 2019 ketika mereka menerbitkan CIO Insights (Pandangan Chief Investment Office) untuk triwulan I 2020.

Pandangan DBS cukup tepat karena S&P 500 mencatat kenaikan lebih lanjut sebelum Covid-19 muncul dan memicu aksi jual. Tetapi, harga saham yang bergerak naik dengan cepat sejak akhir Maret menunjukkan FOMO telah kembali dan ini terbukti dengan melihat aliran dana keluar dari saham tidak begitu besar ketika terjadi aksi jual di pasar global. Pasalnya, manajer investasi masih mempertahankan strategi untuk menempatkan investasi pada saham.

Berdasarkan data Emerging Portfolio Fund Research (EPFR) Global, sebanyak US$ 33,5 miliar keluar dari saham pada triwulan I 2020. Angka ini 23% lebih rendah daripada rata-rata aliran keluar triwulanan, yang sebesar US$ 43,6 miliar pada tahun 2019, dimana saat itu S&P 500 mencatat kenaikan 29%.

"Yang menarik, aset jenis obligasi mencatat arus keluar lebih besar, senilai US$ 107,1 miliar, selama periode ini karena tekanan likuiditas yang lebih berdampak pada aset obligasi," ungkap Fook.

● Akselerasi tren bifurkasi dunia.
Gelombang disrupsi telah menyebabkan pergeseran paradigma dalam model bisnis di seluruh dunia. Saat ini, e-commerce telah mengambil alih toko berbentuk fisik sebagai pilihan dalam industri ritel.

Robot dan otomatisasi juga telah menggantikan metode manufaktur tradisional di pabrik. Evolusi ini telah berlangsung selama beberapa waktu. Tapi, pandemi telah mempercepatnya.

Tidak ada lagi “bisnis seperti biasa” dan perubahan struktural, seperti, dari offline ke online, semakin banyak orang bekerja dari rumah dan olahraga tradisional berubah menjadi e-sports virtual. Teknologi adalah penerima manfaat terbesar pasca-pandemi.

Baca Juga: IHSG melemah tipis, 8 saham LQ45 ini melorot 3 hari berturut

2) Menurunkan porsi obligasi; merekomendasi obligasi AS yang masuk peringkat investasi, memilih obligasi Asia berimbal hasil tinggi ketimbang obligasi global berimbal hasil tinggi.

DBS menyarankan mengurangi porsi obligasi mengingat tingkat bunga mendekati nol hingga negatif secara global. Mengingat pengangguran yang tinggi dan konsumsi yang lemah di negara-negara maju, kebijakan moneter yang akomodatif diperkirakan akan berlanjut sepanjang 2020.

DBS memperkirakan imbal hasil surat berharga pemerintah AS bertenor 10 tahun berada di angka 0,95% pada akhir tahun sebelum meningkat pada 2021. Dalam hal kredit, pandangan kami berubah menjadi positif terhadap obligasi AS dengan peringkat  investasi (US IG) karena selisih dari credit default rate yang tersirat tidak pantas dalam pandangan kami, mengingat kondisi makro saat ini.

Di segmen obligasi berimbal hasil tinggi, kami cenderung memilih obligasi Asia berimbal hasil tinggi ketimbang obligasi global berimbal hasil tinggi mengingat selisih keuntungan menarik di kawasan ini.

Prospek menjanjikan Indonesia, baca di halaman berikutnya >>

3) Prospek menjanjikan untuk ekuitas AS dan Asia (kecuali Jepang)

● AS:
Dengan kecenderungan bifurkasi global, DBS merekomendasikan pasar dengan komposisi sektor terkait teknologi, yang besar besar. Di antara G-3, AS memiliki komposisi teknologi tertinggi.

Teknologi AS secara umum telah mengungguli negara lain sejak keruntuhan dot-com dan krisis Covid-19 menegaskan dominasi sektor ini. Hal itu merefleksikan bifurkasi yang sedang berlangsung dan kami memperkirakan kecenderungan ini akan meningkat di dunia pasca-pandemi mengingat kondisi struktural yang menopang sektor ini, seperti, kemampuan menetapkan harga (pricing power), yang kuat dan perbaikan kontrol biaya operasional.

Baca Juga: Wall Street dibuka menguat ditopang saham Boeing yang melesat 7,3%

● Asia kecuali Jepang:
Dalam hal Asia - tidak termasuk Jepang- mengingat upaya penanganan Covid-19 di kawasan ini yang relatif cukup baik, DBS memperkirakan perekonomian kawasan ini pulih paling cepat  pasca-pandemi. Ini telah dibuktikan oleh indeks kejutan ekonomi.

Di Asia, kami tetap merekomendasikan China dan Singapura, serta menambahkan Indonesia sebagai penerima manfaat dari faktor demografis yang terlibat dalam ekonomi digital.

DBS memprediksi tema dan sektor dengan tren sekuler dapat mempertahankan kinerja mereka yang baik. DBS tetap berpandangan positif terhadap sektor e-commerce dan semikonduktor di Asia Utara, yang merupakan penerima keuntungan jangka panjang dari belanja online, konektivitas jarak jauh, akses data awan, perangkat pintar,  dan lonjakan kunjungan dan jam tayang di platform media sosial; serta bank-bank besar China.

Pasar ASEAN termasuk yang paling terpukul; DBS melihat valuasi yang menarik di beberapa negara dan sektor di mana neraca keuangan tampak sehat dan pemulihan pendapatan bisa lebih cepat dibandingkan dengan yang lain.

Baca Juga: Para pemimpin ASEAN kecam Beijing, 2 kapal induk AS latihan tempur di Laut Filipina

Di ASEAN, pasar pilihan DBS adalah Indonesia dan Singapura. Keduanya masih menerapkan penguncian sebagian dan bersiap mulai normal kembali, dengan memperhatikan tingkat penularan dan pilihan antara kesehatan publik dan kerugian ekonomi.

Kedua pasar tersebut diperdagangkan di angka 13x rasio harga terhadap pendapatan (P/E), dan merupakan pasar paling murah di ASEAN, sehingga membuka ruang untuk penyesuaian pendapatan.

DBS percaya keadaan akan kembali normal dengan cepat di Indonesia setelah pembatasan dicabut. "Pada hakikatnya Indonesia adalah negara mandiri dengan penduduk pekerja muda dan konsumsi lokal akan terus mendorong pemulihan," ungkap Fook.

Baca Juga: Soal sengketa Laut China Selatan, Menlu AS: AS dukung ASEAN

Bank Indonesia dan pemerintah telah memberikan dukungan berupa pemotongan bunga dan stimulus. Investor asing mulai kembali ke obligasi negara dan pasar ekuitas pada bulan Mei.

Di Singapura, proyeksi pertumbuhan ekonomi telah diturunkan lebih jauh, ke kisaran -5% hingga -7% untuk 2020 (DBSf: -5.7%). Hingga saat ini, pemerintah Singapura telah mengucurkan S$ 92,9 miliar atau mendekati 20% dari PDB sebagai respons terhadap krisis Covid-19.

"Kami yakin bahwa Strait Times Index, yang telah turun 22% sejak awal tahun, telah memperhitungkan banyak faktor negatif, dan investor harus fokus pada pemulihan pasca-Covid-19," kata Fook.

Baca Juga: PMI China menguat, bursa Asia melesat

Investasi emas menjadi salah satu pilihan, baca di halaman selanjutnya >>

4) Rekomendasi emas untuk diversifikasi risiko

DBS berpendapat bahwa menambahkan emas ke dalam portofolio pada level saat ini masih masuk akal bagi investor yang ingin mendiversifikasi risiko pada portofolio mereka, terutama pada saat banyak ketidakpastian. Kami memperkirakan emas naik di atas US$ 1.900 per ons troi (oz) pada pertengahan tahun depan.

Berdasarkan model DBS, ada tiga faktor penting yang mempengaruhi harga emas yakni imbal hasil obligasi (korelasi negatif), Indeks Dolar AS atau DXY (korelasi negatif), dan risiko resesi (korelasi positif). Faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh baik kecuali terhadap DXY, yang masih berkisar di sekitar angka 97.

Baca Juga: Harga emas Antam hari ini naik Rp 7.000 ke Rp 918.000 per gram, Selasa (30/6)

Saat ini, ketika likuiditas terlihat mulai kembali normal, efek samping dari stimulus Bank Sentral Amerika (The Fed) mungkin berupa likuiditas ekstra yang butuh diinvestasikan lagi, seperti pada 2008.

Secara khusus, pergerakan harga emas merespons gagasan risiko sistematik, yang berkembang. Stimulus yang belum pernah dilakukan sebelumnya dapat mendorong kenaikan angka inflasi, krisis utang, krisis mata uang, atau  krisis bank, yang dapat mengancam sistem keuangan global.

Baca Juga: Harga emas spot turun 0,09% ke level US$ 1.771 per ons troi pada Selasa (30/6) pagi

5) Tema Utama
Tema investasi baru I - Setelah Pandemi
Pandemi Covid-19 telah sepenuhnya mengubah cara kita hidup, bekerja dan bermain. Kecenderungan utama pasca-pandemi, seperti, diversifikasi rantai pasokan, peningkatan popularitas alternatif daging,  lebih banyak orang menganut pendekatan bekerja dari rumah, serta penekanan pada e-commerce dan e-sports akan menjadi faktor pendorong utama pertumbuhan pada masa depan sementara pelanggan  dan perusahaan beradaptasi terhadap new normal.

Baca Juga: Yuk intip jeroan Samsung Galaxy Z Flip 5G yang siap rilis Agustus nanti

Melanjutkan Tema - 5G Bagian Kedua
Standar komunikasi 5G adalah salah satu faktor yang akan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam dominasi teknologi di fase selanjutnya. Hal ini merupakan elemen penting dalam membentuk hiper konektivitas di dunia, yang memfasilitasi keterkaitan segala hal dengan semua orang, kapanpun dan dimanapun.
5G menghadirkan kesempatan investasi baru untuk produsen prosesor aplikasi, perusahaan perancang sirkuit komunikasi terintegrasi, dan rantai pasokan semikonduktor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×