Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DBS Group Research memproyeksikan harga rata-rata komoditas di tahun ini akan lebih tinggi dari tahun lalu. Sentimen positif datang dari pemulihan ekonomi global dan naiknya permintaan komoditas.
Tren harga komoditas dunia menunjukkan pemulihan sejak semester II-2020. Periode tersebut berbarengan dengan berakhirnya karantina wilayah (lockdown) fase awal di sejumlah negara akibat pandemi Covid-19. DBS Bank Ltd (Bank DBS) memperkirakan kenaikan harga dan inflasi komoditas akan terus berlanjut di akhir tahun ini sehingga mempengaruhi margin produsen sektor hulu maupun industri hilir.
DBS Group Research dalam laporan Regional Industry Focus bertajuk Commodity Inflation Analysis memaparkan sebagian besar komoditas seperti logam, energi, dan pertanian mengalami masa sulit di pada 2020 akibat pandemi. Kondisi ini mengakibatkan penurunan aktivitas perekonomian.
Namun, tanda-tanda pemulihan dan kenaikan harga yang tajam mulai terlihat sejak akhir 2020. Tim riset DBS dalam keterangan tertulis, Jumat (3/9), menyampaikan penguatan harga komoditas akan berlanjut hingga akhir 2021. Faktor yang mendukung adalah, pemulihan ekonomi global sehingga mendorong permintaan komoditas secara tajam dan kembali pada kondisi sebelum pandemi.
Baca Juga: Harga emas spot menguat ke US$ 1.811,7 per ons troi pada pagi ini (3/9)
Peningkatan permintaan tersebut dipicu oleh pemulihan awal ekonomi China dan rencana belanja infrastruktur Amerika Serikat (AS). Selain itu, kebijakan moneter ekspansif dan stimulus fiskal oleh pemerintah di seluruh dunia, khususnya AS juga mendorong ekspektasi inflasi dan pelemahan dollar AS.
Faktor lain yang menyebabkan lonjakan harga adalah hambatan rantai pasok komoditas tertentu akibat pembatasan mobilitas selama pandemi. Cuaca ekstrem di wilayah tertentu juga menggangu suplai komoditas.
Tingginya harga komoditas tim riset Bank DBS perkirakan akan menguntungkan produsen komoditas hulu. Sementara, sektor hilir dan prospek margin mungkin tidak seburuk yang diperkirakan. Penyebabnya, dengan permintaan yang lebih tinggi pada produk akhir, sebagian biaya produksi bahan baku dapat dialihkan ke pelanggan.
"Industri hilir kami percaya sektor penerbangan, konstruksi, semen, kilang akan sulit meneruskan kenaikan biaya. Sementara sektor otomotif, perangkat keras teknologi, galangan kapal, konsumsi makanan minuman (Food & Beverage) akan lebih mengelola margin di tengah meningkatnya permintaan konsumen akhir," tulis laporan tersebut.
Baca Juga: Sektor energi topang penguatan Wall Street, indeks S&P dan Nasdaq rekor lagi
Berikut outlook harga komoditas yang diproyeksikan akan tumbuh signifikan di tahun ini, serta faktor pendorong dan industri yang terdampak.
1. Baja
Harga patokan hot rolled coil (HRC) dunia dan Tiongkok (tidak termasuk PPN) masing-masing naik 59% dan 35% menjadi US$ 1.069 per ton dan US$ 785 per ton sejak awal tahun hingga 19 Mei 2021. Harga baja akan terus bullish didukung kenaikan permintaan baja global sebesar 6,2% di tahun ini yang terdorong oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) infrastruktur AS dan pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah Tiongkok dapat menyebabkan persaingan pasokan di pasar menjadi lebih ketat.
"Kami perkirakan harga baja akan melemah di semester kedua 2021 di mana bijih besi harganya akan turun karena peningkatan pasokan dari pertambangan. Rata-rata harga patokan HRC dunia dan harga HRC domestik Tiongkok masih diproyeksikan naik 47% dan 37% secara tahunan (year on year) pada 2021," tulis analis DBS Group Research, Lee Eun Young dalam laporannya.
Baca Juga: Ini lima jurus Unilever (UNVR) untuk jaga pertumbuhan bisnis yang konsisten
Baja dan aluminium merupakan komponen utama pembuatan kendaraan. Selain baja, pabrikan (Original Equipment Manufacturer/OEM) kendaraan akhir-akhir ini banyak menggunakan aluminium dalam produksi kendaraan guna mengurangi berat kendaraan sekaligus menurunkan emisi CO2.
Bahan baku baja diperkirakan menyumbang sekitar 75% terhadap total biaya produksi kendaraan. Oleh sebab itu, Bank DBS percaya OEM mobil mungkin tidak dapat meneruskan kenaikan biaya produksi secara penuh kepada konsumen
2. Tembaga
Harga tembaga meningkat 28% menjadi US$ 10.115/ton per 19 Mei 2021 atau meningkat lebih dari dua kali lipat dari titik terendahnya di level US$4.618/ton pada 23 Maret 2020. Pasar tembaga diperkirakan tetap defisit 248 ribu ton dan 206 ribu ton pada tahun 2021 dan 2022. Angka ini menyusut dari defisit 2020 sebesar 420 ribu ton.
Bank DBS memperkirakan harga tembaga akan melemah di semester kedua tahun ini akibat peningkatan produksi untuk proyek-proyek baru dengan banyak kapasitas peleburan di Tiongkok dan memperlambat spekulasi investasi karena tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan begitu, harga tembaga rata-rata diperkirakan naik 26,2% secara tahunan (year on year) di level US$7.800/ton pada tahun 2021 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Baca Juga: Potensi Perdagangan Karbon PLTU
3. Minyak
Pemulihan tajam permintaan minyak global pasca pembatasan mobilitas yang dikombinasikan dengan pemangkasan produksi OPEC, menyebabkan ketatnya pasar di awal tahun. Persediaan minyak global pun menyusut hingga di bawah tingkat rata-rata. Bank DBS memperkirakan harga rata-rata minyak mentah Brent akan tetap meningkat di rentang US$ 65-70/bbl hingga 2022, seiring pemulihan permintaan menuju ke level sebelum pandemi Covid-19.
4. CPO
Harga minyak sawit mentah (CPO) Malaysia naik 250% dari titik terendah pada saat pandemi Maret 2020 dan saat ini menyentuh level tertinggi di level RM4.500 per metrik ton (MT). Harga tinggi ini kemungkinan bisa bertahan sementara waktu dengan pasokan dan permintaan yang ketat. Harga minyak kedelai dan minyak nabati lainnya juga membuat harga CPO menguat. Meskipun terjadi reli, harga CPO masih US$300 per ton di bawah minyak kedelai. "Asumsi kami harga CPO 2021 berada di US$617 per MT," ujar analis DBS Group Research.
Berikut beberapa gambaran dampak kenaikan harga komoditas terhadap biaya produksi sektor industri. (dalam tabel)
collage.jpg
Dampak kenaikan harga komoditas terhadap biaya produksi sektor industri
Selanjutnya: Bakal ada Undang-Undang untuk memproteksi komoditas strategis perkebunan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News